Jumat, 03 April 2009

URGENSI GERAKAN MAHASISWA DAN PERSMA JEPARA, Sebuah Relasi yang Masih Sepotong

Diposting oleh admin di 07.32


Oleh: M. ALI BURHAN


REALITA PERSMA
Pers Mahasiswa dalam pengertian yang sederhana adalah Pers yang dikelola Mahasiswa. Pers Mahasiswa dan Pers Umum pada dasarnya tidak berbeda. Perbedaanny hanyalah pada sifat kemahasiswaannya yang tercermin dalam bidang redaksional dan keperusahaannya. Sifat kemahasiswaannya ini lahir karena ia merupakan kelompok masyarakat pemuda yang mendapat pendidikan tinggi di dalam Perguruan Tinggi (Amir ES, 1983).

Sebenarnya ada dua istilah yang sering menjadi perdebatan di kalangan civitas academica, yaitu istilah Pers Kampus dan persma. Berkenaan dengan dua istilah tersebut, Amir Efendi Siregar dalam bukunya “Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti“, lebih menyetujui istilah Persma dari pada Pers Kampus untuk Pers yang dikelola oleh Mahasiswa. Karena dia berasumsi bahwa istilah Pers Kampus mempunyai konotasi politis saat itu (1980-an). Disisi lain, istilah Persma telah dikukuhkan oleh tokoh-tokoh Pers Mahasiswa sejak tahun 50-an, sepeti Nugroho Notosusanto, Teuku Jakob, Koesnadi Hardjasumantri ketika melahirkan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI).

Istilah Pers Mahasiswa juga telah ditegaskan dalam lokakarya Pola Pendidikan dan Pengembangan Perma di Malang tahun 1977 yang memberikan batasan bahwa yang disebut sebagai pers kampus adalah pers yang di terbitkan oleh Perguruan Tinggi dan di kelola oleh civitas academica, dengan demikian pers kampus bisa saja tidak diasuh oleh mahasiswa.

Merujuk pada nama, “Pers Mahasiswa” atau “Persma” merupakan entitassintetis dari dua subyek yang sama-sama potensial dan berat; yang satu Pers dan yang satu lagi Mahasiswa. Persma dituntut mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara konsekuen dan independen. Sedangkan sebagai Mahasiswa, ia dituntut sebagai pelopor perubahan dan pemecah kebekuan. Maka ketika kedua entitas ini digabungkan, betapa agung dan berat nama itu.

Merujuk kepada buku “PERS MAHASISWA INDONESIA, Patah Tumbuh Hilang Bergantui“ karya Amir Efendi Siregar, yang mensyaratkan eksistensi Pers dengan beberapa syarat; yaitu, Pertama, publisita yaitu penyebaran yang dilakukan secara terbuka, yang Kedua, Periodisita, yaitu penerbitan secara periodik, yang Ketiga yaitu universalita yang artinya menyangkut masalah isi yang umum, dapat memuat berita politik, budaya, dll. Sedangkan yang terahir adalah aktualita yaitu isinya menyangkut hal-hal yang baru dan hangat.

Ketika melihat dan membaca apa yang ada di atas, bagaimana dengan Shima? Ketika harus berbicara masalah profesional, maka perlu diketahui bahwa profesional menuntut keterampilan berorganisasi, ketekunan, kontinuitas, pembiayaan dan pemasaran. Disamping itu, profesionalisme juga dapat disebut sebagai pemain bayaran. Buat per mahasiswa yang pengelolanya adalah mahasiswa yang masih punya kewajiban utama untuk menyelersaikan studi dalam kurun waktu hanya 5 tahun, sangat sulit untuk memberikan perhatian dan waktu penuh untuk penerbitannya. Maka dari itu, bagi para aktifis persma, persma bisa hanya berkedudukan sebagai penyalur bakat dan minat ataupun sebagai alat perjuangan yang sementara sifatnya. Dari kenyataan-kenyataan di atas, Arifin Siregar menegaskan bahwa Persma tidak mungkin profesional.

Hal ini bukan berarti Perma yang ada di Jepara tidak berusaha untuk Profesional, tetapi ketika dari para pengurus/pengelola harus berhadapan dengan tuntutan akademik sebagai kewajibannya, ataupun masalah perut yang merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda, maka sering sekali kewajiban di penerbitan terkalahkan. Akibatnya adalah, penerbitan yang tertunda dan kesalahan-kesalahan tehnis yang tidak terhindarkan.
Pers Mahasiswa dalam Konteks Gerakan Mahasiswa di Jepara

Jika gerakan mahasiswa selalu diidentikkan dengan aksi turun kejalan, maka pers mahasiswa malah jarang kita saksikan ada di jalan. Pers mahasiswa lebih bertumpu pada pembentukan opini publik yang didasarkan pada kepekaan kondisi sosial kemasyarakatan. Pers mahasiswa hadir sebagai medium informasi, penyadaran msyarakat, dan propaganda bagi gerakan mahasiswa lainnya. Tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 yang lalu, tidaklah bisa dilepaskan dari peran pers mahasiswa. Melalui berbagai terbitannya, media mahasiswa menjadi pemompa semangat mahasiswa dari dalam kampus.

Di luar kampus pers mahasiswa beradu dengan pers umum membangun opini publik dan melakukan penyadaran masyarakat akan hak-haknya. Kolaborasi aksi turun dijalan dan aksi penyadaran masyarakat yang dimainkan oleh pers mahasiswa telah membuahkan hasil dengan tumbangnya rezim yang telah berkuasa lebih dari 32 tahun. Media mahasiswa menjadi media utama gerakan mahasiswa dalam memberitakan substansi setiap aksi mahasiswa. Berbeda dengan media umum yang tampil terkesan tidak menyentuh substansi dari aksi mahasiswa. Media umum hanya berputar pada jumlah massa dan aksi yang berujung bentrokan. Kehadiran pers mahasiswa pun menjadi bagian terpenting yang pada akhirnya gerakan mahasiswa termasuk pers mahasiswa meraih sebuah pencapaian yang cukup signifikan.

Pers mahasiswa sebagai bagian dari gerakan mahasiswa memiliki nilai tersendiri. Berdiri pada dua kekuatan besar menjadikan pers mahasiswa berpotensi memiliki kekuatan yang lebih. Jika pada satu sisi dia berada pada dimensi pers yang merupakan kekuatan ke empat dari demokratisasi. Disisi lain dia bertumpu pada identitas mahasiswa sebagai kalangan terdidik dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Dari sisi kajian pers, statusnya sebagai mahasiswa akan mampu memberikan suatu kebebasan tersendiri sehingga independensi adalah suatu yang dekat dengan pers mahasiswa. pers mahasiswa tidak berorientasi profit, ketergantungan secara finansial pun tidak ada. Dengan begitu, kebebasan untuk melakukan kritik sosial akan semakin terbuka. Terbitannya pun benar-benar merupakan suara kepedulian sosial dan memiliki dimensi mendidik. Ini dimungkinkan karena media mahasiswa terfokus melakukan kritik sosial, media informasi dan propaganda gerakan, serta media penyadaran masyarakat. dengan begitu, pers mahasiswa menjadikan analisa media sebagai dimensi pengkajian progresif untuk melakukan gerakan social. Artinya pers mahasiswa menggabungkan ketajaman analisa media dengan kemurnian gerakan mahasiswa.

Dari uraian diatas, ketika hal-hal yang ideal tersebut dikontekkan dengan realitas pergerakan Mahasiswa di Jepara, maka banyak hal yang harus dijadikan bahan refleksi bagi kita semua. Sebenarnya, ketika bercermin pada apa yang ditulis oleh Amir Efendi Siregar dalam bukunya “Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti“, maka apa yang selama ini dilakukan oleh sahabat-sahabati Jepara kaitannya dengan aktifitas Pers, maka Persma Jepara belum ada yang memenuhi standar pers.

Di sisi lain penulis memandang, relasi antara Persma dan Gerakan Mahasiswa Jepara masih sepotong. Belum ada korelasi yang signifikan antara Pers Mahasiswa dan Gerakan Mahasiswa. Hal ini, masih menurut Penulis, karena disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah:

1. Konsolidasi Gerakan yang belum rapi
Dalam menyusun sebuah agenda gerakan, Konsolidasi organisasi baik internal maupun eksternal (stake holder) sangat penting untuk dilakukan. Dalam kenyataannya, karena kurangnya konsolidasi, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh sebagian Insan Pergerakan biasanya tidak ada korelasi dengan gerakan dari organ (stake Holder) Mahasiswa yang lain, khususnya Persma, sehingga hasil atau kesuksesan dari gerakan tersebut cenderung parsial atau setengah-setengah. Visi dan Misi gerakan yang dilakukan tidak bisa menghunjam keakar tujuannya, yakni Mahasiswa itu sendiri. Sahabat-sahabati yang melakukan gerakan, tidak bisa termediasi secara maksimal karena tidak ada konsolidasi dengan persma, begitu juga sebaliknya, persma ketika menerbitkan karyanya kurang menggigit karena minimnya dokumentasi gerakan mahasiswa yang notabene adalah komunitasnya sendiri. Nah, dari sini bisa menjadi renungan bersama untuk bagaimana kedepan, konsolidasi antara organ persma dan organ pergerakan bisa lebih ditingkatkan, sehingga mekanisme “take and give“ bisa lebih ditekankan sebagai mitra sekaligus saudara dalam gerakan

2. Job Discription yang belum rapi
Pada umumnya, persma di Jepara menempati ruang sempit hanya sebagai lembaga di bawah organisasi yang pola kerjanya sangat bergantung pada Ketua. Akibatnya adalah, Pers yang seharusnya aktif dan dinamis, menjadi sangat pasif. Hidup matinya Pers sebagai lembaga di suatu organisasi sangat tergantung pada fatwa dari ketua, bukan berdasarkan program kerja organisasi yang disusun di awal kepengurusan. Sementara itu disisi lain, dalam mengawal misi organisasi, persatuan dan kekompakan antar elemen kepengurusan adalah sangat penting. Ketika masing-masing elemen tersebut tidak bisa saling menopang, maka demi tegaknya organiusasi, yang terjadi adalah tambal sulam dalam tugas. Dari sini, insan pers yang seharusnya banyak melakukan analisa-analisa serta merekam sutau peristiwa gerakan, menjadi tidak konsen dengan tugasnya. Ia disibukkan dengan pekerjaan teknis yang bukan menjadi tugasnya, begitu juga sebaliknya.

3. SDM insan gerakan di bidang tulis menulis
Budaya menulis adalah budaya yang masih asing bagi Mahasiswa Jepara pada umumnya. Menulis adalah sesuatu yang sangat berat sehingga sangat sedikit dari para Insan Gerakan yang mempelajarinya, baik secara terpadu (mempelajari teori) maupun otodidak (tanpa teori, langsung praktek). Para insan gerakan lebih asyik dan enjoy ketika beretorika dari pada harus bersusah payah meluangkan waktu khusus untuk mentransformasikan gagasannya dalam bentuk tulisan. Akibat dari budaya ini adalah, minimnya kader yang mampu menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan.

4. Egoisme Organisasi
Egoisme sebagai naluri juga ikut mewarnai pergerakan mahasiswa Jepara. Tidak dapat dipungkiri, beberapa tahun terakhir ini, banyak insan gerakan yang lebih mementingkan egonya daripada kemaslahatan bersama. Masing-masing insan pergerakan lebih disibukkan oleh pertarungan antar organ se-almamater dari pada berfikir maju untuk bersama membangun persatuan gerakan demi terwujudnya visi misi PMII tercinta. Hal ini mengakibatkan masing-masing aktivis (khususnya Ketua) organisasi lebih mementingkan organisasinya dari pada yang lain, sementara ditingkatan pengurus akan lebih mementingkan organ yang disenanginya atau yang menjadi hobbynya dari pada organ yang lain. Tarik menarik antar kepentingan dalam organisasi ini mengakibatkan, kesamaan visi antar organiasasi yang seharusnya bisa diraih dengan kerjasama menjadi tidak sempurna. Fragmentasi gerakan menjadi sebuah keniscayaan.

5. Minimnya Kader
INISNU adalah kampus kecil dengan organisasi Mahasiswa yang sangat banyak. Dengan jumlah Mahasiswa sekitar 700-an di kampus induk, INISNU mempunyai sekitar 11 organ intrakampus dan 6 organ ekstra dengan hanya sekitar 5% mahasiswa yang aktif di organsasi, mengakibatkan kepengurusan rangkap tidak terelakkan lagi. Bertumpuknya tanggungjawab dari berbagai organ yang diikuti kader, serta tugas yang terbengkalai dari pengurus yang tidak aktif menjadikan energi kader yang aktif terkuras habis di wilayah teknis, sehingga pada wilayah pemikiran dan intelaktual tidak banyak tergarap. Dengan mekanisme organisasi tersebut, sulit untuk memunculkan kader yang inten dan fokus terhadap pers.

6. Minimnya toleransi profesi dan hobby
Kader PMII Jepara, adalah kader yang heterogen dalam potensi dan juga hobby. Hal ini perlu penyikapan serius dari seluruh civitas gerakan, karena mereka masuk ke PMII dengan segala bakat dan minatnya. Ketika kader tidak menemukan ruang ekspresi dari bakat dan hobbynya tersebut, maka yang terjadi adalah Kader akan sulit untuk bisa aktif di internal PMII. Mereka akan mencari ruang baru atau bahkan menciptakan ruang baru yang akan menampung segala aspirasi mereka. Kedewasaan gerakan dalam mensikapi kasus-kasus seperti ini sangat penting agar kader meskipun secara fisik tidak aktif di PMII, tetap mempunyai rasa handarbeni terhadap PMII. Toleransi profesi dan hobby antar individu maupun organisasi dalam gerakan harus dikembangkan agar anomali-anomali gerakan bisa diminimalisir.

7. Belum adanya kesadaran bersama akan pentingnya media sebagai gerakan.
Dalam setiap gerakan, sahabat-sahabati PMII banyak yang belum menyadari arti pentingnya pers atau media sebagai alat gerakan. Mereka biasanya lebih fokus pada teknis pelaksanaan dengan mengesampingkan pers sebagai alat gerakan. Terutama persma yang secara fungsi bisa mentransformasikan ide-ide gerakan secara sempurna. Dengan Persma, nuansa pergerakan akan lebih hidup, nalar intelektual akan lebih terasah, Tranformasi nilai-nilai perjuangan akan lebih efektif, Serta dengan Persma lukisan sejarah pergerakan akan terbaca oleh kader.

8. Dana
Minimnya dana, juga menjadi kendala yang serius dalam sebuah penerbitan, dan perlu tenaga ekstra untuk memenuhinya. Meskipun pada kenyataannya, ketika Kader PMII Jepara hendak merambah wilayah persma, tidak terlalu sulit dalam pendanaan, namun ketika sang redaktur yang juga merangkap penulis harus mencari dana sendiri, maka hasil penerbitan menjadi tidak maksimal.

Di ahir tulisan ini, penulis menghimbau kepada diri sendiri, sahabat-sahabat sekalian, dan seluruh kader PMII Jepara agar bisa lebih menonjolkan kearifan dalam bersikap, kedewasaan dalam berorganisasi, serta memahami dan legowo menerima kekurangan dan kelebihan dari masing-masing kader. Tangan terkepal dan maju kemuka.

“Orang yang mencari sahabat tanpa cela, maka selamanya ia tidak akan mendapatkannya“.
(Umar bin Khottob)


1. Makalah ini pernah disampaikan pada diskusi “Transformasi Pers Sebagai Strategi Gerakan PMII“ yang di selenggarakan oleh Lembaga Inkom PC PMII Jepara, Kamis, 14 Februari 2008 di Kantor PC PMII Jepara dan saat ini sudah mengalami penyesuaian.

gambar dari sini

0 komentar on "URGENSI GERAKAN MAHASISWA DAN PERSMA JEPARA, Sebuah Relasi yang Masih Sepotong"

Posting Komentar

 

LPM BURSA Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez