Jumat, 03 April 2009

TEOLOGI DEMONSTRASI, Melacak Basis Teologis Gerakan Demonstrasi

Diposting oleh admin di 07.26



oleh: CHOLIS HAUQOLA


Demonstrasi”. Satu kata penuh makna ; heroisme, perjuangan, advokatif, brutal, anarkis, dibanggakan, dibenci, sensasional, romantis, kekacauan, huru-hara, bahkan terkadang sarat ideologi. Demonstrasi adalah bahasa media massa untuk menyebut unjuk rasa dan aksi massa yang tidak jarang diwarnai kericuhan baik karena sengaja (by design) ataupun tidak (by accident).

Demonstrasi muncul bukan dalam ruang kosong, terlepas dari aspek sejarah. Demonstrasi merupakan tindakan sosial, yang diproduksi dan direproduksi menurut konteks yang melingkupinya. Oleh karenanya, demonstrasi adalah bagian dari kenyataan sosial-politik yang perlu senantiasa diterjemahkan ulang agar dapat ditemukan hakikat, orientasi, kausalitas dan makna lain yang melekat padanya.
Sebagai objek kajian disiplin humaniora, demonstrasi diterjemahkan menurut berbagai kepentingan yang tak kalah penting dari kepentingan di mana demonstrasi itu sendiri dilakukan, direproduksi atau sebaliknya ditiadakan, yang tentunya atas dasar kepentingan tertentu pula. Media massa, menjadikan isu demonstrasi sebagai komoditas pemberitaan dan kajian sebagai jawaban strategis kebutuhan ekonomis, sekaligus secara bersamaan sebagai perilaku ideologis dalam ranah politisasi media. Ahirnya, demonstrasi menjelma menjadi suatu wacana dalam bentuk bahasa / teks tertentu sebagai praktik sosial yang senantiasa berdialektika dengan situasi, institusi dan tatanan sosial yang ada. Demonstrasi kemudian menjadi fenomena kontroversial, yang bergulir antara pro dan kontra.

Sebagai sebuah wacana, wacana demonstrasi diproduksi, dipandang, dan dihayati oleh suatu kekuatan yang memiliki otoritas untuk membentuk sistem nilai. Kekuatan ini tidak hanya muncul dari kekuatan dalam bentuk negara, akan tetapi juga muncul dari institusi-institusi ideologis semacam adat, budaya bahkan agama. Pada tahap selanjutnya, wacana ini kemudian dikonsumsi oleh masyarakat dalam ranah kehidupan sosial (sosiocultural practice) yang menjadi struktur nilai tersendiri. Akan tetapi sayangnya, pengkonsumsian wacana ini berjalan tidak pada jalur kekuatan yang seimbang, namun berjalan secara hegemonik-dialektik di mana bentuk wacana yang didukung oleh kekuatan mayoritas dan politik (terkadang juga didukung militer), selalu menjadi pemenang dalam menentukan bentuk kebenaran dari suatu wacana. Dengan kata lain, dalam proses konsumsi suatu wacana selalu diwarnai adanya wacana mayoritas dan minoritas, superioritas dan minoritas, elit dan pinggiran, kami dan mereka, protagonis dan antagonis, kanan dan kiri, bahkan benar dan sesat. Corak hegemonik semacam ini juga ditemukan dalam memahami gerakan demonstrasi, karena sampai detik ini, sejauh pengamatan penulis terutama terhadap pola pemikiran konservatif, demonstrasi hanya dipandang dari sisi negatif yang ditimbulkannya tanpa pernah mencoba memahami mengapa, atas dasar apa dan untuk apa demonstrasi itu dilakukan. Ironisnya, disorientasi pemahaman sebagaimana yang terahir disebutkan, justru diamini oleh sebagian besar mahasiswa serta civitas akademika lainnya yang menyandang predikat agen perubahan sosial (agen of social change).

Pengagung-agungan harmoni secara berlebihan terkadang menutup realitas yang tersembunyi di balik harmoni tersebut. Ketidakadilan seolah dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan harus diterima tanpa perlu mempertanyakan apalagi melakukan protes dan merubahnya. Pada kesempatan tertentu, justru harmoni dijadikan bungkus kezaliman atas nama stabilitas secara represif.

Membicarakan demonstrasi massa memang terasa sensitif apalagi jika ditinjau dari domain kekuasaan. Akan tetapi, pada artikel yang sederhana ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk merenungkan beberapa persoalan demonstrasi mengingat bahwa demonstrasi ”terlanjur” menjadi cara faforit dalam tatanan demokrasi untuk menyuarakan pendapat di muka umum (advokasi non-litigasi) dengan cita-cita perjuangan berupa perubahan ke arah lebih baik, adil dan merata. Dalam tulisan ini, wacana demonstrasi diperbincangkan pada kapasitasnya sebagai langkah-langkah advokatif memperjuangkan kebenaran di satu sisi, dan di sisi lain dianggap sebagai tindakan melanggar hukum karena dipandang potensial menciptakan instabilitas politik-sosial-ekonomi. Dalam konteks ini demonstrasi tidak hanya diletakkan pada level tindakan sosial (sociocultural practice), tetapi lebih jauh lagi diposisikan sebagai tindakan keagamaan (religiousity practice).

Dengan demikian, perlu diajukan beberapa pertanyaan seperti ; bagaimana demonstrasi jika ditinjau dari perspektif agama? Adakah landasan teologis yang membenarkan demonstrasi? Apa batas-batas demonstrasi yang diperbolehkan dalam agama?

Basis Teologis
Kata demonstrasi memang tidak dikenal dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadits. Sejarah peradaban Islam juga belum pernah mencatat adanya demonstrasi. Meskipun demikian, Islam menuntun umatnya dalam tatanan bermasyarakat untuk saling mengingatkan dalam kebenaran dan bekerjasama dalam kebaikan. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam relasi kekuasaan terdapat keniscayaan adanya pilihan untuk bersikap mengikuti kehendak penguasa (jika benar dan adil) ataupun melawan kehendak penguasa (jika tidak adil dan salah).

Dalam agama tedapat anjuran untuk mentaati Allah, mentaati rasul-Nya dan pemimpin suatu komunitas (QS. Annisa' (4) ; 59). Ini artinya ketaatan terhadap Allah dan rasul-Nya merupakan keharusan yang harus dijalankan di manapun., kapanpun dan oleh siapapun. Akan tetapi ketaatan terhadap pemimpin, akan senantiasa berubah tergantung situasi yang dihadapi mengingat penguasa cenderung berpotensi corrupt terhadap kekuasaannya.

Adapun perubahan itu sendiri, tidak tercipta dengan sendiri melainkan sebagai hasil upaya manusia sebagi aktor perubahan, selain tuhan sang maha kuasa. Hal ini juga seiring dengan ma'lumat tuhan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubahnya sendiri (QS. Al-Ra'd (14) ; 11). Lantas jika dikaitkan dengan aksi demonstrasi, seperti apa agama mensikapinya?
Demonstrasi pada dasarnya adalah alternatif terahir setelah langkah-langkah persuasif dilakukan. Demonstrasi merupakan bahasa yang mengungkapkan ketidakpuasan kolektif terhadap kinerja pemegang amanat rakyat sekaligus bahasa yang menyuarakan bahwa mereka sedang mengalami ketidakadilan, ketidakmerataan, dan ketertindasan. Kebijakan kekuasaan yang diterapkan secara agresif hanya bisa dilawan melalui tindakan kolektif masyarakat sebagai kekuatan penyeimbang dalam negosiasi. Sikap kolektif semacam ini semakin diperlukan jika terdapat indikasi bahwa pemegang amanat rakyat sedang ”tuli” dan ”buta” terhadap kesengsaraan dan ketidakadilan yang ditanggung masyarakatnya. Demonstrasi dapat diandaikan sebagai ”terapi kejut” agar penguasa segera siuman dari kelalaiannya sekaligus juga sebagai kekuatan yang berdaya dorong dalam menciptakan legitimasi perubahan kebijakan. Hal ini juga barangkali sesuai prinsip ”tasharruful imam 'alar-roi'yyati manuthun bil mashlahah” (kekuasaan suatu kepemimpinan disesuaikan dengan kemashlahatan yang ditimbulkannya).

Islam mengajarkan secara metodis langkah-langkah dalam mendakwahkan kebenaran (sabili rabbik) melalui tiga tahapan (QS. Annahl (16); 125). Tahap pertama, dengan hikmah (bil-hikmah) yaitu perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang benar (haq) dan yang salah (bathil) secara bijaksana. Kaitannya dengan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, hikmah dapat direalisasikan dengan menuliskan keluhan kepada pemimpin mengenai lemahnya pelayanan dengan data dan argumentasi yang tepat, berdialog dengan menjunjung prinsip kebersamaan, audiensi dengan policy maker untuk menemukan solusi secara baik, dan lainya. Dengan cara ini semaksimal mungkin kemaslahatan dapat tercipta secara efektif melalui langkah bijaksana, damai dan berdampak pada stabilitas sosial. Akan tetapi jika langkah pertama ini kurang efektif, maka ajakan kebenaran dapat dilakukan melalui tahapan yang ke dua, yaitu dengan memberi pelajaran yang baik (bil mauidzah al-hasanah)
Tahap ke dua ini diimplementasikan dengan cara, misalnya, menuliskan gagasan melalui media massa dengan mengurai permasalahan sekaligus menawarkan solusi terbaiknya, mengadakan workshop kebijakan publik, bahtsul masail tentang realitas kekinian (waqi'iyah), mengoptimalkan hak angket / interpelasi, dan lain sebagainya. Dengan cara ini efektifitas ”saling mengingatkan” diharapkan semakin meningkat pada tahap yang lebih serius. Dan jika dengan cara ini ”kemunkaran” masih belum juga dapat dirubah, maka Islam memberikan alternatif berikutnya pada tahapan metodis yang ke tiga, yaitu dengan cara bantahlah mereka dengan cara yang baik (wajaadilhum billati hiya ahsan).

Proses bantahan / mujadalah mengandaikan adanya dua posisi yang saling berhadap-hadapan dengan membela argumentasi masing-masing. Proses dialektika merupakan hal yang tidak mungkin dihindari, dan karenanya kooptasi dan hegemoni menjadi ciri khas pada tahap pressure ini. Masing-masing pihak bersikukuh pada kepentingan yang berbeda, bahkan pada tahap tertentu berseberangan dan berlawanan. Aksi demonstrasi adalah salah satu gambaran dari keadaan ini. Namun demikian, proses mujadalah tentunya juga harus dibatasi dengan prinsip ”billati hia ahsan”, yaitu dengan cara yang paling minim resiko buruknya. Sebisa mungkin ”menangkap ikannya tanpa keruh airnya”.

Tiga tahap advokasi menuju ke jalan tuhan tersebut didukung dan dikuatkan oleh spirit qur'ani seperti; berjuanglah membela kebenaran dengan harta dan dirimu (QS .At Taubah (9) ; 41), sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan (QS. An Nahl (16) ; 90), dan betapa mulianya orang yang menyeru kepada kebenaran dan mengerjakan kebajikan (QS. Al Fushshilat (41) ; 33).

Sikap demonstratif dalam melakukan advokasi publik, seiring dengan ajakan Nabi Muhammad SAW, bahwa siapapun melihat kemunkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan kekuatannya, jika tidak mampu maka merubahlah dengan lisannya, dan jika memang tidak mampu maka hendaklah ia merubahnya dengan hatinya, meskipun yang demikian adalah selemah-lemahnya iman. (HR. Bukhari-Muslim)

Rambu-rambu
Demonstrasi sebagai sebuah aksi menyampaikan pendapat di muka umum, dan terkadang sekaligus sebagai media mencari dukungan, seyogyanya dilakukan (oleh demonstran) dan ditanggapi (oleh aparat penegak hukum) dengan cara-cara yang menghindari kekerasan dan kerusakan. Kerusuhan yang sering menyertai ketika demonstrasi digelar rasanya juga perlu dikaji ulang. Kerusuhan yang terjadi tidak cukup jika hanya dilihat dari teori oposisi biner semata, apalagi jika ahirnya hanya mengambinghitamkan salah satu pihak. Dalam iklim yang dipenuhi ragam dan motif kepentingan, baik politik, sosial-budaya maupun ekonomi, melihat demonstrasi dengan pandangan yang berat sebelah bukanlah sikap yang arif dan bijaksana. Jika ini terjadi, maka keadilan yang menjadi cita-cita bersama menjadi kabur dan jauh dari realitas, disamping justru berpotensi memicu konflik.

Semua pihak yang bersinggungan dengan fenomena demonstrasi, barangkali juga perlu berpegang pada prinsip ”tidak menciptakan kerusakan di muka bumi” dalam arti sebenarnya dan seluas-luasnya. Statemen qur'ani menjelaskan dengan tegas bahwa, ”janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung” (QS. Al Israa' (17); 37), sekaligus memberi peringatan bahwa ”..sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dalam urusan (dunia) itu” (QS. Ali Imran (3) ; 159).

Dengan menemukan landasan teologis demonstrasi dan sistem penalaran sebagaimana di atas, maka demonstrasi ternyata tidak hanya cukup dipahami sebagai praktik sosial (sociocultural practice) masyarakat, apalagi hanya sebatas sikap apriori dan antipati terhadapnya. Akan tetapi demonstrasi juga merupakan implementasi sikap keberagamaan (religiousity practice) dan manifestasi iman seseorang dalam berjuang menyuarakan kebenaran dan menghalau kemunkaran.

gambar dari sini

0 komentar on "TEOLOGI DEMONSTRASI, Melacak Basis Teologis Gerakan Demonstrasi"

Posting Komentar

 

LPM BURSA Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez