Jumat, 03 April 2009

FIKIH LINGKUNGAN, Revitalisasi peran agama dalam konservasi lingkungan hidup

Diposting oleh admin di 07.14



oleh: DEDY MERISA


Alam dan lingkungan hidup adalah karya (ciptaan) Allah SWT. yang menjadi bukti kekuasaan-Nya serta sebagai arena bagi manusia dan makhluk lainnya untuk menjalani proses kehidupan. Hamparan alam dan lingkungan adalah instrumen kehidupan, dengan potensi fantastis yang dapat dimanfaatkan oleh segenap makhluk hidup bahkan yang sudah mati sekalipun.

Manusia sebagai khalifah Allah di bumi telah diberikan “lisensi” untuk mengelola alam dan memanfaatkannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan, dari yang profan seperti pemenuhan hajat hidup, sampai yang sakral seperti menjadi media untuk beribadah. Setiap bagian dari alam dan lingkungan yang diciptakan tidak ada yang percuma. Semuanya telah didesain dan diciptakan lengkap dengan manfaatnya masing-masing dan menjadi kewajiban manusia untuk mencari rahasia manfaat dan memanfaatkan tiap ciptaan-Nya.

Kiranya tidaklah fair jika manusia hanya mengeksploitasi alam tanpa adanya upaya konservasi, sejalan dengan hal tersebut maka menjadi kewajiban manusia untuk menjaga kelestarian sekaligus menyelamatkan alam. Semua itu tentunya demi keberlangsungan hidup yang lebih baik dan tetap terjaganya kelestarian ekosistem.

Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam, oleh berbagai pakar ekologi telah “divonis” sebagai penyebab utama terjadinya berbagai bencana alam yang melanda berbagai belahan dunia tak terkecuali Indonesia. Longsor, banjir, kekeringan, abrasi sampai lumpur lapindo yang membuat ribuan rakyat Sidoarjo bersimbah lumpur dan memaksa mereka hengkang dari tanah kelahirannya, adalah sedikit contoh dari sederetan cerita memilukan seputar dampak eksploitasi alam dan lingkungan yang kelewat batas. Berbagai bencana seakan silih berganti menggempur Indonesia. Semua itu karena manusia tidak mampu menahan nafsu serakahnya untuk mengeruk sepuasnya kekayaan alam.

Indonesia adalah negara dengan segudang potensi alam, hamparan pulau-pulau dan bentangan lautan yang luas merupakan kekayaan alam yang luar biasa. Namun keserakahan manusia membuat potensi tersebut dieksploitasi secara menggila tanpa memperhatikan kelestariannya. Dan yang lebih gila, hasil eksploitasi alam tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang akan tetapi getah kesengsaraannya melumuri masyaarkat luas yang tidak terkait dengan nikmat keuntungannya.

Merefleksi realita diatas, sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk dirumuskan sebuah formula konservasi alam, diantaranya adalah dengan menggunakan pendekatan agama. Bukanlah hal yang berlebihan jika melibatkan agama dalam konteks ini, karena pada esensinya diantara misi agama adalah mencegah munculnya kerusakan, termasuk kerusakan alam dan lingkungan hidup. Agama merupakan ranah yang pada saat-saat tertentu mampu menjadi rem yang ampuh bagi hasrat manusia untuk melakukan suatu hal yang bersifat merusak. Memang tidak selamanya agama mampu memerankan perannya yang semacam itu, namun ketika jalur sains atau jalur-jalur lain terhambat, “pintu agama” bisa menjadi salah satu pintu untuk masuk ke dalam jiwa setiap orang, yang pada akhirnya mempengaruhi agar tidak merusak lingkungan.

Dalam konteks agama Islam, pembahasan tentang lingkungan hidup oleh beberapa pakar hukum islam dinamakan Fiqh Al Bi'ah, atau dalam konteks keindonesiaan bermakna Fikih Lingkungan. Adanya Fikih Lingkungan merupakan salah satu pranata yang bisa mendukung visi tentang sinergi antara isu keagamaan dan isu konservasi lingkungan hidup tadi.
Menurut Hatim Gazali, sampai saat ini fikih belum mampu menjadi jembatan yang mengantarkan norma Islam kepada perilaku umat yang sadar lingkungan karena belum ada fikih yang secara komprehensif dan tematik berbicara tentang persoalan lingkungan.

Fikih-fikih klasik yang ditulis oleh para imam mazhab hanya berbicara persoalan ibadah, mu'amalah, jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara, persoalan lingkungan (ekologi) kurang mendapat tempat yang proporsional dalam khazanah Islam klasik. Karena itulah, merumuskan sebuah fikih lingkungan (fikih al-bi'ah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fikih yang menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar'i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.

Sekedar tambahan argumentasi tentang pentingnya fikih lingkungan, adalah analisis dari Prof. KH. Alie Yafie, bahwa tiga isu besar yang acap melanda dunia ketiga dengan penduduk mayoritas muslim, adalah terorisme, demokrasi dan ekologi. Dan pada kenyataannya, memang di negeri muslim pula ketiga hal tersebut berada dan lebih banyak disorot. Khusus isu ekologi, hal ini amat jelas betapa negeri muslim atau yang mayoritas penduduknya muslim seperti Indonesia, tidak mengindahkan aturan yang ada dalam agama. Boleh jadi hal ini terjadi karena tuntutan ekonomi dan pola standar ganda negara maju dalam memainkan peran untuk meruntuhkan citra negara ketiga.

Dalam kajian fikih klasik, perihal isu lingkungan memang belum mendapatkan porsi yang signifikan. Dalam beberapa kitab fikih isu lingkungan hanya disinggung secara generik dan belum spesifik, hal ini bisa dipahami karena kondisi pada waktu kitab-kitab tersebut disusun, belum muncul problem lingkungan sebagaimana yang telah terjadi saat ini. Dengan demikian maka sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam untuk memperluas ruang lingkup kajiannya pada isu-isu modern tersebut dalam berbagai karya-karya para intelekual muslim. Umat Islam khususnya pada ulama harus memiliki sense of future untuk memperbesar kapasitas peran hukum Islam dalam kehidupan modern sehingga mampu berbicara di panggung dunia dalam isu-isu kemanusiaan dan lingkungan, sehingga perannya tidak lagi terbatas dan eksklusif.
Kesadaran untuk melakukan transformasi fikih yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan perlu dimassifkan karena selama ini masih tertunda implementasinya dan belum dieksplorasi secara optimal.

Islam; Pioner Konservasi Alam
Sejak masa awal Islam, telah muncul ajaran untuk menjaga lingkungan, hal ini dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur'an, seperti surat al-Baqarah ayat (27), Luqman (20), al-A'raf (56), Shad (27), Ibrahim (7) dan lainnya. Di dalam Al Qur'an, terdapat 426 ayat yang menyebutkan bumi, baik berisi perintah menjaga kelestarian, memanfaatkan, peringatan dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa perihal alam dan lingkungan hidup mendapatkan porsi yang cukup signifikan di dalam Islam. Di dunia barat yang disebut sebagai dunia modern baru meributkan masalah lingkungan pada penghujung abad ke-20. Ini berarti bahwa Islam telah memberikan ajaran kepada umatnya untuk menjaga kelestarian alam jauh sebelum wacana ataupun gerakan konservasi alam menghangat di dunia Barat.

Kisah tentang diusirnya Nabi Adam dari surga yang kemudian diturunkan ke bumi adalah salah satu bukti tentang ajaran menjaga lingkungan hidup. Adam telah dilarang untuk memakan buah khuldi, namun ternyata Adam tetap memakannya. Sebagai konsekuensinya Adam diturunkan ke bumi ditempat yang gersang, kering dan tandus. Hal ini paling tidak memberikan pelajaran untuk tidak mengeksploitasi alam sekehendak sendiri. Larangan bagi orang yang sedang ikhram untuk berburu binatang darat atau membunuhnya (QS. Al-Maidah; 96), juga merupakan ajaran islam untuk tidak melakukan eksploitasi alam secara berlebihan. Namun sayangnya hal tersebut seringkali hanya dipahami sebagai syarat prosedural an sich dalam menjalani proses ibadah haji. Esensi pesan dari larangan tersebut tidak begitu diperhatikan bahkan tidak dipikirkan.

Menurut Prof. KH. Alie Yafie, Islam telah memberikan beberapa ketentuan yang terkait dengan kewajiban manusia terhadap alam dan lingkungan, yang pada prinsipnya dijelaskan dalam beberapa bagian, yaitu Pertama, perlindungan jiwa raga (hifdh al-nafs), ini kewajiban utama dalam pandangan hukum Islam (Fikih). Kedua, kehidupan dunia sebagai modal kehidupan sesudahnya mestilah diarungi dengan baik tanpa cela. Oleh karenanya, berbuat kerusakan di atas dunia, termasuk merusak lingkungan adalah perbuatan tercela. Ketiga, manusia sebagai makhluk berakal harus memelihara ekosistem. Keseimbangan mutlak harus dijaga demi kelangsungan hidup umat manusia. Keempat, semua makhluk yang diciptakan Tuhan adalah mulia dan berguna. Siapapun dilarang mengeksploitasi berlebih-lebihan. Kelima, manusia sebagai pemimpin dimuka bumi adalah pengelola alam demi kelestarian kehidupan. Segala tindakannya di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Desain fikih lingkungan
Agama, sebagaimana dikemukakan oleh Mary Evelyn Tucker (2003) mempunyai lima resep dasar untuk menyelamatkan alam dan lingkungan; (1) Reference atau keyakinan yang dapat diperoleh dari teks (kitab-kitab suci) dan kepercayaan yang mereka miliki masing-masing; (2) Respect, penghargaan kepada semua makhluk hidup yang diajarkan oleh agama sebagai makhluk Tuhan; (3) Restrain, kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sesuatu supaya penggunaanya tidak mubazir; (4) Redistribution, kemampuan untuk menyebarkan kekayaan; kegembiraan dan kebersamaan melalui langkah dermawan; misalnya zakat, infak dalam Islam; (5) Responsibility, sikap bertanggung jawab dalam merawat kondisi alam dan lingkungan. Dalam hal ini, kepedulian terhadap alam dan lingkungan amat tergantung pada bagaimana aspek-aspek ajaran agama disajikan dan dieksplorasi dengan bahasa serta idiom-idiom modern dan ekologis.

Karena kepedulian umat terhadap alam dan lingkungan tergantung dengan desain penyajian dan eksplorasi ajaran, maka pembahasan fikih secara spesifik tentang alam dan lingkungan dirasa cukup strategis. Hal ini akan membuat umat yang menerima ajaran tersebut dapat lebih fokus dalam memahami suatu ajaran dan terhindar dari ambiguitas. Merumuskan fikih lingkungan kemudian tidak bisa ditawar dan juga merupakan upaya praktis dalam menyelamatkan alam dan lingkungan dari eksploitasi semena-mena dan kerusakan. Fikih lingkungan akan menjadi regulasi yang memberikan kepastian hukum bagi umat Islam dan menjadi referensi dalam memberikan sanksi bagi para pelanggar. Oleh karena itu dalam fikih lingkungan perlu dicantumkan dengan tegas bahwa orang yang mengabaikan, menyia-nyiakan dan merusak tatanan ekosistem di muka bumi dapat dikatakan sebagai orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya (QS.Al-Maidah: 33). Hal ini meng-ingat tindakan pengrusakan bumi (alam) dikategorikan “memerangi Allah dan Rasul-Nya”, dan pelakunya bisa disebut kafir dan harus dihukum.
Sebagaimana ditulis diatas, bahwa menggunakan pendekatan agama bisa menjadi strategi yang cukup ampuh untuk menanamkan pemahaman akan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Ajaran-ajaran agama harus dipahami secara komprehensif dan integratif, dalam konteks ini adalah ajaran agama yang terkait dengan lingkungan hidup. Gagasan untuk merumuskan Fikih Lingkungan sebagaimana yang dituliskan oleh Prof. KH. Ali Yafie dalam bukunya “Merintis Fikih Lingkungan” dan juga oleh beberapa intelektual muslim lainnya dijelaskan bahwa fikih lingkungan yang berdasarkan pada nash agama sebenarnya bukanlah hal yang baru, hanya saja belum terformulasi dan tersosialisasikan secara massif ditambah lagi implementasi dilapangan yang belum optimal.

Perlu dipertegas bahwa ketika kata fikih itu disebutkan, tidak serta-merta ia merefleksikan kitab kuning, bahasa arab jawa ataupun bahasa arab dan lainnya. Fikih dalam konteks lingkungan adalah hasil bacaan dan pemahaman manusia terhadap dalil naqli, baik yang maktubah (tertulis) maupun yang kauniyyah (tidak tertulis) yang tersebar di alam jagad raya. Jadi, Fikih Lingkungan berarti pemahaman manusia tentang lingkungan hidup melalui pendekatan-pendekatan Holy Scriptures (teks-teks suci) dan natural signs (tanda-tanda alam) yang pada akhirnya akan melahirkan suatu konsep dan sikap peduli terhadap alam semesta, khususnya menyangkut pelestariannya. Karenanya pemahaman umat terhadap ajaran Islam perlu dikembangkan dan diperdalam agar Islam bisa dilihat komprehensif.

Perlu pemahaman yang cerdas dan arif, bahwa memasukkan isu-isu pelestarian lingkungan dalam kurikulum pendidikan pesantren dan sekolah serta materi khutbah sebagai suatu hal penting daripada membicarakan masalah ruknun min arkan al-Islam. Karena menjaga lingkungan hidup dan alam semesta ini adalah konsekuensi dari kepercayaan Tuhan kepada manusia yang telah Dia angkat menjadi khalifah di muka bumi ini. Tanggungjawab ini harus dipegang teguh semua orang.

Hatim Gazali menawarkan beberapa gagasannya dalam rangka menyusun fiqh lingkungan ini (fiqh al-bi'ah); Pertama, rekonstruksi makna khalifah. Dalam al-Qur'an ditegaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah, tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah/2: 30). Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. Luqman/31: 20), tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS. al-A'raf/7: 56).

Kedua, ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan bukan pada cabang (furu'), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Ketiga, tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman seseorang. Keempat, perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-bi'ah). Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya jagad raya (alam semesta) ini. Karena itulah, merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah. Dalam Al Qur'an Surat Shad ayat (27) diterangkan bahwa memahami alam secara sia-sia merupakan pandangan orang-orang kafir. Apalagi, ia sampai melakukan perusakan dan pemerkosaan terhadap alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap seluruh nikmat yang diberikanNya kepada manusia, termasuk adanya alam semesta ini (QS. Ibrahim/14: 7).

Yusuf Qardhawi dalam Ri'ayah al-Bi'ah fiy Syari'ah al-Islam (2001), memberikan penjelasan bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari'ah). Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari'ah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fawuha wajibun (Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib).

Ulama dan Saintis; Membangun Konspirasi Konservasi
Upaya untuk membumikan fikih lingkungan tidaklah mudah, diskursus tentangnya harus terus digulirkan secara intensif dan massif serta sinergis dengan melibatkan stakeholders yang terkait. Kalangan ulama sebagai pihak yang ditokohkan dan dianut masyarakat mempunyai peran yang sangat penting dalam transformasi wacana fikih lingkungan, namun demikian ulama tidak dapat berjalan sendiri, hal ini karena fikih al-bi'ah merupakan perpaduan antara elemen syari'ah dan elemen sains serta teknologi. Oleh karena itu menjadi penting untuk mewujudkan adanya sinergi positif antara ulama dan kalangan ilmuan serta pegiat organisasi yang bergerak dibidang konservasi lingkungan hidup. Secara lebih konkrit, dapat diselenggarakan pelatihan bagi kedua stakeholder tersebut. Ulama dilatih oleh kalangan saintis tentang dinamika di dunia konservasi, sebaliknya ulama memberikan pelatihan kepada para saintis tentang ajaran syari'ah dalam konteks lingkungan hidup.

Sekedar epilog bahwa pelestarian lingkungan merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditawar oleh siapapun dan kapanpun. Kesadaran dan kedewasaan ummat untuk bersikap ramah terhadap lingkungan sangat penting untuk ditanamkan. Paling tidak, berbagai pemikiran diatas dapat diimplementasikan dimulai dari diri sendiri dengan tidak melakukan eksploitasi alam dan lingkungan yang berlebihan. Kita berhak dan bahkan diperintahkan untuk memanfaatkan ciptaan-ciptaan Allah tersebut, namun kita juga harus sportif dan fair dengan tetap menjaga kelestariannya. Mahatma Gandhi pernah menulis sebuah memoriam yang sejalan dengan hal tersebut; “segala yang ada di dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan satu orang rakus”. Wallahu A'lam.

gambar2 dari sini
gambar2 dari sini

0 komentar on "FIKIH LINGKUNGAN, Revitalisasi peran agama dalam konservasi lingkungan hidup"

Posting Komentar

 

LPM BURSA Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez