Minggu, 12 April 2009

MERANGKAI MASA DEPAN NU; Perjalanan Politik dan Demokratisasi di Indonesia

Diposting oleh admin di 07.53

Oleh : Muhammad Ali Burhan

NU adalah sebuah gejala unik, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Dunia Islam. Ia adalah sebuah organisasi Ulama Tradisional yang memiliki pengikut mayoritas umat Islam di Indonesia. Organisasi non-Pemerintah paling besar yang masih bertahan dan mengakar di kalangan bawah.


NU, Politik, dan Perkembangan Islam Indonesia.

Nahdhatul ulama didirikan pada tahun 1926 oleh sejumlah tokoh ulama dan usahawan Jawa Timur. Pembentukaannya sering kali dijelaskan sebagai reaksi defensive terhadap berbagai aktifitas kelompok reformis Muhammadiyah dan kelompok modernis moderat yang aktif dalam gerakan politik Sarekat Islam[1]. Dari sini awal NU berkiprah dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, khususnya dalam perkembangan Islam Indonesia. Aspek-aspek utama dari pengaitan NU kepada proses perkembangan Islam di Indonesia dapat di lihat pada hal-hal berikut; tradisi keilmuagamaan yang dikembangkannya, pandangan kemasyarakatan yang dimilikinya, cara pengambilan keputusan umum yang digunakannya, dan proses rekonsiliasi internalnya jika terjadi perbedaan pandangan yang tajam. Kesemua aspek utama itu berkait satu sama lain, dan seringkali berfungsi tumpang tindih, walaupun secara keseluruhan berpola saling menunjang[2].

Tradisi keagamaan NU bertumpu pada pengertian tersendiri yang disebut Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Doktrin tersebut berpangkal pada tiga pilar, yaitu; pertama, mengikuti paham al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam Tauhid, kedua, mengikuti salah satu madzhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan yang ketiga, mengikuti cara yang ditetapkan al-Junaid al-Bagdadi dalam bertarekat atau bertasawuf[3].

Namun dalam perjalanan selanjutnya, NU yang pada awalnya merupakan gerakan sosial keagamaan yang bertujuan meningkatkan kualitas keberagamaan dan kesejahteraan rakyat, gerakan politik lebih mewarnai wajah NU sehingga NU seringkali lebih didefinisikan sebagai gerakan politik yang tradisional. Pada fase ini seluruh energi eksponen NU lebih dikonsentrasikan mengejar target-target politik, sedangkan gerakan sosial seperti pendidikan, ekonomi, dan kebudayaan, cenderung terabaikan.
Dari dasar inilah, NU dihadapkan pada masalah titik berat orientasi. Kacung Marijan dalam salah satu artikelnya menyatakan, sebagai konsekwensi dari aktifnya NU berpolitik, baik ketika bergabung di partai politik lain maupun ketika menjadi partai sendiri, titik berat perhatian NU lebih pada masalah-masalah politik. Realitas demikian berbeda dengan orientasi NU ketika didirikan, yakni sebagai jam’iyah diniyah Islamiyah. Permasalahan ini lebih mengemuka karena hubungan NU dan pemerintah mengalami ketegangan. Hal ini terjadi karena didalam permainan politik NU terkesan berseberangan dengan pemerintah Orde Baru.

Pada saat yang sama, ketika orientasi politik itu mengedepan, NU justru tidak mampu mengartikulasikan dan mengagresikan kepentingan-kepentingan warga NU. Ketidakmampuan ini tidak semata-mata karena kualitas politisi NU kurang bagus, tapi lebih dari pada itu, political society Indonesia saat itu tidak memungkinkan civil society berbuat banyak dan memiliki tingkat partisipasi politik yang tinggi. Political society Indonesia yang bercorak otoritarian, dimana proses politik berlangsung secara elitis, jauh dari partisipasi politik rakyat (people are excluded from politic). Dalam situasi seperti ini, sejumlah kader NU dengan sejumlah Kiai yang menginginkan perubahan, mengadakan serangkaian diskusi untuk mendiskusikan realitas yang dihadapi NU. Hasil dari serangkaian diskusi inilah yang kemudian hari menjadi keputusan penting NU. Bahwa permasalahan yang disebutkan diatas terjadi karena apa yang dilakukan oleh NU semakin jauh dari semangat ketika NU didirikan. Maka agar NU bisa keluar dari permasalahan itu, mau tidak mau harus kembali ke Khittoh 1926[4].

Orde baru tumbang, sebuah patahan sejarah yang sangat penting

Dengan runtuhnya Orde Baru yang berganti dengan Orde Reformasi hasil Pemilu 1999, dapat dipandang sebagai sebuah peluang untuk melakukan perubahan disegala bidang. Baik dalam sistem politik, ekonomi, pendidikan, budaya dan sistem sosial baru yang lebih adil dan demokratis. Meskipun dalam tataran realitas, setiap perubahan akan membawa dampak perubahan positif dan negatif.

Mengutip pernyataan Muhaimin Iskandar tentang terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden; “Tanggal 20 oktober 1999 merupakan salah satu tonggak penting dalam ikhtiar bangsa ini membangun kehidupan politik yang demokratis. Hari itu boleh disebut sebagai peristiwa puncak dari rangkaian acara pemilihan umum 1999, KH Abdurrahman Wahid terpilih secara demokratis menjadi Presiden ke-4 negeri ini. Terpilihnya Gus Dur, optimisme masyarakat luar biasa. Figur Gus Dur yang memiliki komitmen teruji dengan berbagai eksperimen demokratisnya selama kekuasaan orde baru memberi garansi awal bahwa reformasi akan terus berjalan ke arah yang dicita-citakan bersama. Terpilihnya Gus Dur membantu menjawab pertanyaan penting tentang arah dan kesinambungan reformasi negeri ini yang telah dimulai semenjak berakhirnya kekuasaan Soeharto pada 21 Mei 1998. Terpilihnya Gus Dur membangkitkan optimisme bahwa bangsa ini akan segera keluar dari krisis multi dimensi yang akan dihadapinya. Gus Dur menghadapi tantangan serius; memimpin sebuah negeri yang tengah melakukan transisi demokrasinya, sebuah masa peralihan politik dari sistem dan kultur kehidupan sosial politik yang otoriter menuju ssstem dan kultur sosial politik yang demokratis. Masa transisi adalah sebuah fase konsolidasi bagi kekuatan-kekuatan demokratis, sekaligus membuka kemungkinan bagi rekonsolidasi kekuatan-kekuatan lama. Transisi politik adalah sebuah periode yang sangat cair, dimana berbagai gagasan dan kekuatan politik sedang mencari bentuk yang pas. Dalam konteks ini sangat mudah dimengerti bahwa transisi kita paling tidak dalam pengamatan saya, tidak dibangaun diatas komitmen, fokus dan arah yang jelas tentang kemana semestinya kita bergerak. Absesnya consensus dari stake holder proyek demokrasi Indonesia membuka kemungkinan kearah praktek politik yang chaotic, ini ditandai oleh benturan-benturan kepentingan politik yang tajam diantara berbagai kekuatan politik yang ada. Politik tidak lagi menjadi sebuah ruang dimana public policy diperdebatkan dan dirumuskan, tetapi hanya menjadi arena dimana kekuasaan diperebutkan. Kita biasa menyaksikan itu pada masa pemerintahan Habibie maupun Gus Dur. Dalam periode pemerintahan Gus Dur yang singkat, berkembang sejumlah gagasan maupun peristiwa politik yang menurut hemat saya sedikit banyak menandai dan memberi pengaruh pada transisi demokrasi kita[5]”. Harus ada sikap arif dari seluruh lapisan NU dalam menghadapi segala konsekuensi langkah NU selama ini.


Tantangan NU saat ini

NU sebagai organisasi yang terbesar di Indonesia tentunya selain adanya peluang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa nasional yang terjadi, maka tantangan juga menyertai dalam perjalanan NU. Tantangan utama yang dihadapi NU adalah barat dan Islam radikal[6]. Meskipun disisi lain, situasi transisi demokrasi Indonesia serta carut-marut politik sebagai salah satu persoalan utama yang harus digarap NU.
Pihak barat melihat NU sebagai elemen strategis agen transformasi ideologi dan kepentingan Barat. Selain itu, NU juga sebagai target untuk mengakomodasi pemikiran dan kepentingan-kepentingan barat di Indonesia. Untuk itu pihak barat, baik yang beraliran liberal maupun kiri baru (sosial demokrasi) memberikan dukungan dana dan akses kepada NGO atau lembaga-lembaga yang dimiliki NU atau para anggotanya yang dari kalangan muda NU.

Salah satu tekanan Barat yang dengan arus globalisasinya adalah memaksa sistem kapitalisasi diterapkan. Dampak dari sistem tersebut adalah perkembangan ekonomi hanya berpusat di perkotaan, sementara perkenbangan ekonomi ummat terpinggirkan, atau tidak mampu mengikuti. Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang meluangkan jalan bagi sistem tersebut. Kebijakan itu dipengaruhi pada kualitas pendidikan ditingkat desa terutama pesantren, padahal mayoritas warga NU ada di pesantren dan pedesaan.

Reaksi NU kepada barat juga berfariasi, ada yang menerima secara hati-hati dengan tetap memegang prinsip Ahlussunnah Waljama’ah dan ada yang menerima secara berlebihan. Atas dasar ini, kelompok diluar NU, menuduh NU sebagai agen Barat. Dan karena dianggap menerima ide-ide barat, kelompok radikal Islam mengeneralisir NU secara keseluruhan sebagai bagian kelompok yang harus diperangi, apalagi NU dianggap tidak mendukung formalisasi syari’at Islam. Hal ini sangat menyulitkan dan merugikan NU secara keseluruhan padahal jumlah mereka yang menerima secara berlebihan sangat sedikit.

Meskipun terdapat sisi positif, dari persentuhan NU dan barat, yaitu warga Nahdhiyyin lebih progresif dan dinamis sehingga prospek NU kedepan lebih cerah. Namun noktah NU sebagai agen barat, liberal dan kekiri-kirian serta menurunnya kualitas ummat telah dimanfaatkan kelompok Islam radikal untuk menarik massa NU kedalam kelompok mereka.

Tantangan NU saat ini, baik dari Barat maupun dari Islam radikal, terletak pada ideology yang telah ditebarkan dan aktifitasnya yang telah melemahkan kekuatan NU baik wilayah ekonomi, politik maupun budaya pada tingkat pusat sampai akar rumput. Oleh karena itu, saat ini warga nahdhiyyin berada pada situasi yang sulit. Sebagian telah terpengaruh oleh pemikiran dan kepentingan Barat secara berlebihan, sehingga di klaim sebagai agen Barat, dan sebagian lainnya telah terpengaruh oleh ideology Islam radikal[7].


Bagaimana NU melangkah?
Dengan kembalinya NU ke khittoh 1926, yakni penekanan orientasi perjuangan kembali kepada gerakan sosial keagamaan yang bertujuan meningkatkan kualitas keberagamaan dan kesejahteraan rakyat menjadikan NU lebih leluasa bergerak tanpa ada rasa curiga dan pemanfaatan secara politik terhadap NU. Meskipun hal ini sempat terkoyak dengan adanya gonjang-ganjing munculnya PKB, tapi dengan semangat khittoh 1926, hal itu dapat terselesaikan dengan baik. Meskipun stigmatisasi PKB-NU tidak bisa dilepaskan begitu saja sehingga konflik yang berkepanjangan di tubuh PKB oleh kalangan non NU dijadikan parameter kerapuhan NU.

Untuk menghadapi problem-problem kekinian, NU harus lebih cerdas menempatkan diri dalam situasi dan kondisi kebangsaan saat ini. Menghidupkan kembali diskursus sejarah bangsa, khususnya NU yang selama ini samar karena terhalang oleh kepentingan-kepentingan penguasa merupakan salah satu elemen penting dalam pencerdasan jam’iyah dan jama’ah. Karena, kemajuan bangsa tergantung pada eksplorasi terhadap persepsi historisnya. Sejarah menempatkan sebuah bangsa didalam zaman dan membatasi siklusnya di dalam sejarah dan di dalam tahapan sejarah dimana bangsa itu hidup[8].

Disisi lain, H.A. Saidul Bakir mengatakan; penguatan jama’ah dan jam’iyah harus menggiatkan kembali Nahdlatul Tujjar dan Taswirul Afkar serta pemberdayaan generasi muda dalam menghadapi kekuatan jaringan Islam radikal dan tekanan ideologi barat[9]. Nahdlatul Tujjar merupakan salah satu elemen awal berdirinya NU, namun dalam perkembangannya kurang mendapat perhatian sehingga NU tertinggal dan terbelakang dalam wilayah ekonomi. Hal ini bukan berarti menghidupkan lagi Nahdlatul Tujjar sebagai sebuah organisasi, tapi semangatnya yang harus kembali diserap oleh NU saat ini untuk kemudian di transformasikan kepada warga Nahdhiyin. Gerakan politik dan gerakan kultural yang selama ini di gulirkan NU, ternyata tidak banyak membantu peningkatan kualitas warga Nahdliyyin dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, bidang ekonomi harus menjadi prioritas yamg harus secepatnya dilaksanakan mulai dari tingkat pusat sampai bawah. Pemberdayaan sumberdaya warga Nahdhiyyin harus dikembangkan dengan penggalian dan pengembangan potensi warga, hal ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan kerja dan agrobisnis, seperti perkebunan, peternakan, life skill, dan lain sebagainya. Pesantren sebagai basis warga NU bisa dijadikan sebagai kekuatan utama dalam pembangunan wilayah perekonomian yang dapat dijadikan kekuatan utama dalam membangun perekonomian masyarakat.

Sementara itu dalam wilayah pemikiran atau semangat Taswirul Afkar, dengan munculnya generasi-generasi NU saat ini sudah cukup membanggakan, namun hal ini perlu lebih di kembangkan karena untuk mengimbangi pemikiran-pemikiran yang radikal, terutama berkaitan dengan konsep syari’at Islam. Membakar kembali semangat Nahdlatul Tujjar dan Taswirul Afkar harus dilakukan secara seimbang, agar dikemudian hari tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan di segala bidang. Untuk mencapai maksud tersebut diatas, penggarapan pada generasi muda harus menjadi prioritas, karena mereka inilah generasi baru yang akan membawa gerbong NU dalam menghadapi tantangan zaman. Mereka harus diberikan kesadaran akan pentingnya untuk membuat sinergi kekuatan intelektual dan perekonomian umat. Namun generasi muda ini harus mendapat pengawalan berupa bimbingan dan arahan dari generasi tua agar tidak salah jalur dan tetap dalam koordinasi serta sinergitas kepentingan NU ke depan.

*******
End Notes:

[1] Marttinvan Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi kuasa, Pencarian wacana baru. PT, LKiS Yogyakarta bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, Cet. I, Nov. 1994. hlm 17
[2] KH Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, PT. LKiS Yogyakarta, Cet. II, Jan. 2000, hlm. 153
[3] Ibid. hlm. 154
[4] Gila Gus Dur, Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Tulisan artikel Kacung Marijan, PT. LKis Yogyakarta, Cet. I Juni 2000, hlm. 132
[5] Muhaimin Iskandar, Gus Dur yang saya kenal. (catatan Transisi Demokrasi Kita). PT. LKiS Yogyakarta, Cet. I, Feb. 2004, hlm. xii
[6] H.A. Saidul Bakir, Ancaman Terhadap Nahdlatul Ulama, diterbitkan khusus kalangan Nahdhiyyin, Jakarta 2006
[7] Ibid, hlm. 15
[8] Hassan Hanafi, Islamologi 3, Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, PT. LKis Yogyakarta, cet. I, Agust. 2004, hlm. 105
[9] H.A. Saidul Bakir, Ancaman Terhadap Nahdlatul Ulama, diterbitkan khusus kalangan Nahdhiyyin, Jakarta 2006, hlm. 15


Daftar Pustaka
KH. Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, PT. LKiS Yogyakarta, Cet. II, Jan. 2000.

Marttinvan Bruinessen, NU. Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, PT. LKiS Yogyakarta bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, Cet. I, Nov. 1994.

Muhaimin Iskandar, Gus Dur yang Saya Kenal (catatan Transisi Demokrasi Kita), PT. LKiS Yogyakarta, Cet. I, Feb. 2004

H.A. Saidul Bakir, Ancaman Terhadap Nahdlatul Ulama, diterbitkan khusus kalangan Nahdhiyyin, Jakarta 2006

Hassan Hanafi, Islamologi 3, Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, PT. LKis Yogyakarta, cet. I, Agust. 2004,

::.gambar dari sini

0 komentar on "MERANGKAI MASA DEPAN NU; Perjalanan Politik dan Demokratisasi di Indonesia"

Posting Komentar

 

LPM BURSA Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez