Minggu, 12 April 2009

HUKUM ISLAM DI INDONESIA ; Eksistensi dan Prospek Transformasinya

Diposting oleh admin di 07.49

Oleh : Ghufron*

Pendahuluan

Wajah hukum di Indonesia sampai saat ini adalah gambaran panjang dari sebuah proses dialektika perjuangan politik (political straggle) untuk memantapkan eksistensinya sebagai negara hukum. Sejak berdirinya, Indonesia sangat berkeinginan untuk membentuk hukum nasionalnya sendiri, hal tersebut dapat dilihat dalam sejarah ketika pemerintah mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1946 yang isinya memberlakukan Undang-undang Hukum Pidana Warisan Kolonial Belanda atau KUHP memunculkan berbagai sorotan dan reaksi dari segenap komponen bangsa karena hukum tersebut bersifat diskriminatif dan tidak sesuai dengan nuansa bangsa yang merdeka.

Untuk mewujudkan cita-cita membentuk hukum nasional, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 107/1958 pemerintah membentuk “Lembaga Pembinaan Hukum Nasional” (LPHN), yang kemudian setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kedudukan LPHN diubah menjadi “Badan Pembinaan Hukum Nasional” (BPHN), sebuah badan setingkat Direktorat Jenderal dalam lingkup Departemen Kehakiman yang diberi tugas Negara untuk merancang, mencetak dan membina hukum nasional[1].

Seiring dengan watak sosiologi masyarakat Islam sebagai penghuni mayoritas Negara Indonesia tidak dapat dipisahkan dari hukumnya, karena ketaatan pada hukum agama (Islam) adalah merupakan bagian integral dari nilai transendental keimanannya kepada Allah, maka merupakan keniscayaan jika hukum Islam berada dalam posisi yang dominan sebagai bahan baku hukum nasional. Jika tidak maka hukum nasional yang ada, selamanya akan kehilangan wibawa dan efektifitasnya, akibat selanjutnya pemerintah Negara akan kehilangan loyalitas dari sejumlah besar masyarakat penghuni ini. ada sebuah asas hukum “Lex plus laudatur quando ratione probatur” (Hukum akan dihargai bila didukung oleh dasar yang masuk akal).

Jika kita melihat amuk masa ketika menangkap penjahat dan menghakimi secara membabi buta dapat diambil benang merah bahwa tingkat kepercayaan masyarakat pada hukum sangat lemah. Bahkan timbulnya kelompok-kelompok radikal yang sering melakukan jalan pintas diluar konstitusi adalah karena ketidak puasan terhadap hukum yang berlaku dengan hukum yang dicitakan. Disinilah letak signifikasi hukum Islam sebagai jembatan dua titik ekstrim dari sejumlah besar masyarakat agamawan yang miskin komitmen kebangsaan disatu pihak dengan negarawan yang mengalami krisis keagamaan.

Profil Hukum Islam

Dalam pandangan Islam pada suatu komunitas masyarakat Islam dimanapun mereka berada, akan senantiasa berhadapan dengan tiga kategori hukum, yaitu ; Syari’at, Fiqh, dan Siyasah Syar’iyah Wadl’iyah. Tiga kategori hukum tersebut telah didefinisikan oleh para fuqoha’ sebagaimana dibawah ini :

Pertama, Syari’ah secara etimologis mempunyai arti “ jalan menuju mata air”, sedangkan secara terminologis “hukum syari’at” atau hukum syara’ didefinisikan oleh Prof. Abdul Wahhab Khallaf : “ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan subyek hukum, berupa melakukan sutau perbutan, memilih atau menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab atau penghalang”.[2]

Sebagai Khitob Allah, syariah terdiri dari norma-norma yang wajib dilaksanakan baik dalam bentuknya sebagai agama (ibadah mahdloh) maupun sebagai pranata social yang terdiri dari norma etika, norma moral dan norma hukum. Allah mewajibkan kepada Ummat Islam untuk melaksanakan syari’ah dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat dan bernegara dengan penuh kesadaran. Jika terjadi pelanggaran, maka pelaksanaan dan penegakannya harus diupayakan dengan bantuan alat perlengkapan Negara.

Syari’ah belum tersusun secara sistematik sebagaimana ciri sebuah kitab fiqh maupun peraturan perundangan (siyasah syar’iyah). Ciri lain karena syari’ah bersifat global dan universal sehingga belum siap untuk diterapkan dalam masyarakat yang mempunyai ciri yang berbeda. Untuk itu sayri’ah perlu ijtihad, yaitu institusi dalam bentuk disiplin ilmu yang dipakai untuk meneliti dan mengkaji masalah-masalah yang dihadapi dengan tetap berpegang kepada nash-nash syar’i yang ada.

Kedua, Fiqh secara semantik diartikan dengan al-Fahm atau pemahaman. Sehingga jika dikatakan “menurut fiqh Syafi’i”, maka dapat diartikan sebagai pemahaman Imam syafi’i tentang hukum syara’ Islam yang disimpulkannya setelah membaca dalil-dalil syara’. Sehingga dalam arti terminologis Fiqh didefinisikan : “ Ilmu atau pemahaman tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci”[3]

Dari pengertian tersebut diatas dapat dipahami bahwa fiqh bukan syari’ah, melainkan interpretasi atau penjelasan terhadap syari’ah, atau nilai-nilai yang terkandung dalam syari’ah yang diformulasikan kedalam suatu produk-produk hukum yang lebih bersifat terapan dan teknis berdasarkan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Ketiga, Siyasah Syar’iyah didefinisikan : “ Kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki kemaslahatannya, melalui aturan-aturan yang tida bertentangan dengan agama, meskipun tanpa dalil tertantu”.

Berdasarkan pengertian tersebut, siyasah syar’iyah dieksistensikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau al-Qowanin yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dalam Negara yang sejalan atau tidak bertentangan dengan Syari’at.

Dari pengertian ketiganya tersebut bila dilihat dari segi elastisitasnya, maka mempuyai karakteristik yang berbeda.

Syari’at mempunyai sifat universal, tetap dan tidak berubah, dan seharusnya tidak ada perbedaan pendapat. Sedangkan fiqh sebagai produk pemikiran manusia maka kebenarannya masih nisbi dan selalu berkembang berdasarkan kondisi dan situasi serta lingkungan. Sehingga fiqh diharapkan mampu memberikan jawaban yuridis terhadap berbagai tuntutan persoaln hidup dan kehidupan manusia, sementara kehidupan manusia senantiasa mengalami perubahan-perubahan. Oleh karena itu kajian fiqh harus senantiasa terbuka dan harus memperhatikan implikasi-implikasi sosial dari penerapan produk pemikiran hukum, disamping tetap menjaga relevansinya dengan kehendak doktrin sumber hukum yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan siyasah syar’iyah mempunyai sifat yang lebih terbuka lagi dari fiqh dalam menerima perkembangan dan perbedaan pendapat. Perbedaan kondisi dan situasi serta perkembangan zaman sangat berpengaruh dengan siyasah syar’iyah.

Bila dilihat dari segi keabsahan berlakunya siyasah ada dua macam, yakni siyasah yang adil dan siyasah yang dzalim. Siyasah yang adil adalah siyasah yang haq, yaitu peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan agama. Sedangkan siyasah yang dzalim adalah siyasah yang batil karena bertentangan dengan agama.


Eksistensi Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam telah memperoleh tempat dan bahkan telah menjadi hukum resmi Negara dalam kehidupan masyarakat Indonesia seiring dengan berdirinya kesultanan-kesultanan/kerajaan–kerajaan Islam nusantara. Tetapi pada perkembangan berikutnya, pemerintah kolonial Belanda memangkas Hukum Islam itu sedikit demi sedikit, sehingga yang tersisa sekarang, selain hukum ibadah, hanyalah sebagaian saja dari hukum keluarga dengan peradilan agama sebagai pelaksananya. Berdasarkan pendekatan historis, perkembangan eksistensi hukum Islam di Indonesia dapat digolongkan menjadi empat fase, dua diantaranya fase sebelum kemerdekaan dan dua lainnya periode pasca kemerdekaan.

Fase pertama, Fase berlakunya hukum Islam dengan sepenuhnya. Ini terjadi sejak masa kerajaan-kerajaan Islam sampai awal VOC. Hal berangkat dari teori H.A.R. Gibb bahwa jika orang telah menerima Islam sebagai agamanya,, maka ia menerima authoritas hukum Islam terhadap dirinya, teori lain menyebut teori “Sami’na wa Atho’na”.
Tetapi pada tanggal 25 Mei 1760, Belanda mengeluarkan peraturan yang terkenal dengan Compendium Freijer, yang isinya hanya mengakui hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) saja dan menggantikan kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja dan sultan dengan peradilan buatan Belanda dengan hakim-hakim Belanda yang dibantu oleh para penghulu Qodli Islam.
Fase kedua, fase berlakunya hukum Islam setelah diterimanya oleh adat. Fase ini berpangkal pada Teori Receptio yang dikemukan oleh Christian Snouck Hurgronye yang menginginkan agar jangan sampai orang-orang Indonesia memegang kuat hukum Islam karena pada umumnya orang yang kuat memegang hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban barat.

Dengan alasan bahwa hukum waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, pemerintah Belanda menerbitkan Stbl. 1937 Nomor 116 yang mencabut perkara waris dari wewenang Pengadilan Agama, yang sejak 1882 telah menjadi kewenangannya dan mengalihkannya ke pengadilan Negeri.

Pasca masa kolonial, proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai arti penting bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia. Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan untuk mengikuti sistem hukum Belanda mulai berusaha untuk melepaskan diri dan berupaya untuk menggali hukum nasionalnya sendiri.

Pada perkembangan berikutnya lahir teori a Contrario yang merupakan kebalikan teori Recertie, yakni bahwa hukum adat baru dapat diberlakukan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini hukum Islam menjadi memiliki ruang gerak yang lebih leluasa.

Pada pasca kemerdekaan ini perkembangan eksistensi hukum Islam memasuki fase ketiga dan keempat.

Fase ketiga, Fase ini hukum Islam bereksistensi sebagai sumber persuasive, yakni diterima sebagai suatu sumber hukum setelah diyakini. Selanjutnya fase keempat, hukum Islam bereksistensi sebagai sumber otoritative, yakni diterima sebagai sumber yang memiliki kekuatan hukum.


Prospek Hukum Islam di Indonesia

Dalam membicarakan prospek hukum Islam di Indonesia, setidaknya ada aspek yang perlu untuk dikemukakan. Pertama, aspek kekuatan dan peluang. Kedua, aspek kelemahan dan hambatan.

Aspek kekuatan hukum Islam terletak pada dua sumber utamanya, al-Qur’an dan al Hadits, yang selain memuat ajaran akidah dan akhlak, juga memuat aturan-aturan hukum kemasyarakatan, baik perdata maupun pidana. Ketiga bidang ajaran tersebut mempunyai satu kesatuan yang saling mendukung, yang dari padanya lahir prinsip, asas dan tujuan hukum Islam.

Tujuan hukum Islam adalah kebaikan manusia (mashalih jaami’iin an naas), sesuai kodrat dan fitrahnya, karena itu dalam hukum Islam, kebajikan diperintahkan dan perbuatan yang merusak dilarang. Dengan tujuan seperti itu, hukum Islam akan senantiasa sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia, kapanpun dan dimanapun.

Didalam wadah negara Indonesia, keberadaan hukum Islam masih dalam perjungan eksistensi. Dahulu, kini dan akan datang, hukum Islam senantiasa ada dalam hukum nasional yang tertulis dan yang tidak tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktek hukum. Kontribusi yang sudah diberikan hukum Islam terhadap hukum nasional berupa UU, PP dan Inpres seperti telah dikemukakan, membuktikan bahwa hukum Islam punya kekuatan dan kemampuan dalam berintegrasi dengan hukum nasional.

Aspek kekuatan ini menjadi semakin kokoh karena didukung oleh Pancasila, yang sila-silanya merupakan norma dasar atau norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum dasar Negara, telah mendudukkan agama pada posisi yang fundamental, serta memasukkan ajaran agama dan hukumnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian, hukum Islam yang merupakan bagian dari ajaran agama anutan mayoritas penduduk Indonesia, memiliki peluang besar untuk mewarnai hukum nasional.

Disamping kekuatan dan peluang, terdapat sejumlah kelemahan dan hambatan diantaranya sebagaimana dibawah ini :

Kemajemukan Indonesia, yang juga tercermin dalam kemajemukan masyarakat Islam Indonesia, baik etnis, budaya dan lainnya. Akibatnya, tidak semua masalah hukum Islam bisa di unifikasi, melainkan harus lebih dulu dipilah, mana yang sudah diunifikasi dan mana yang belum.

Keberatan masyarakat non muslim atas pemberlakuan (penjiwaan) hukum Islam pada hukum nasional. Dampaknya secara politis belum pernah terjadi adanya political will yang kuat dari penguasa untuk memberlakukan hukum Islam (terutama dalam bidang hukum pidana).

Lemahnya kesadaran masyarakat Islam sendiri terhadap pemberlakuan hukum Islam.
Lemahnya pemahaman dan penguasaan umat Islam terhadap hukum agamanya sendiri. Ironisnya, keadaan ini terjadi pula dikalangan cendekiawan mereka sendiri, baik karena lemahnya penguasaan bahasa, metode istinbat, maupun karena sebab lainnya.[4]

Lemahnya persatuan dan kesatuan umat Islam dalam memperjuangkan hukum Islam untuk dijadikan hukum nasional. Ini dapat kita saksikan ketika pemerintah membuat peraturan perundang-undangan dalam pengesahannya di legislative banyak masyarakat yang beradu argument tentang hal tersebut yang intinya ada yang menolak dan yang menerima seperti dalam pornografi dan pornoaksi dan lain-lain.

Untuk menanggulangi berbagai kelemahan dan hambatan diatas, maka beberapa solusi berikut dapat dilakukan :

Melakukan pembaruan pola dan kurikulum pendidikan hukum secara radikal, hukum Islam maupun hukum umum, sehingga sarjana hukum yang dihasilkannya berkualifikasi handal, produktif, responsive, dan antisipatif terhadap perkembangan sosial masyarakat.
Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas syari’ah sebagai pembina hukum Islam dengan fakultas hukum sebagai pembina ilmu hukum nasional /umum.
Menggalakkan dialog, seminar dan sejenisnya, antara pakar hukum Islam dan hukum umum untuk menemukan kesamaan visi dan persepsi dalam rangka membangun hukum nasional.

Menggalakkan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pemberlakukan hukum Islam di Negara ini, melalui para tokoh agama dan masyarakat.


Penutup

Dalam kerangka pembinaan hukum nasional Indonesia, hukum Islam sebagai bagian dari system hukum positif di Indonesia, mempuyai prospek yang bagus untuk ikut memberi warna. Bukan saja, karena secara material hukum Islam itu mempunyai perbendaharaan hukum yang kaya, tetapi juga karena banyak kenyataan positif yang mendukungnya.
Kenyataan positif itu dapat disebutkan, antara lain, pertama, adanya berbagai kebijakan pemerintah selaku penyelenggara negara yang memberi peluang bagi berperannya hukum Islam. Kedua, telah lahirnya berbagai peraturan perundang – undangan yang membuat hukum Islam menjadi lebih eksis sebagai sub sistem dalam sistem hukum nasional. Ketiga, adanya upaya tak kenal lelah dari umat Islam sendiri kearah itu lewat sektor dakwah, pendidikan, sampai politik. Wallahu A'lam.


*Penulis adalah mahasiswa
Fakultas Syar’ah yang berusaha menjadi orang yang
bersyuiukur atas nikmat yang telah dianugerahkan Allah SWT.


End Note :
[1]Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, hal. 29;
[2]Wahbah Az-Zuhaily, Ushul Fiqh, Darul Fikri, Beirut 1995, Juz I hal. 21
[3]Abi Yu’la, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Beirut, darul fikri, 1994, hal. 20
[4]Andi Rusdiyanah, Problematika dan Kendala yang dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi kedalam Hukum Nasional, Makalah Seminar, 1996, hal.6-8.

Daftar Pustaka :
Abi Yu’la, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Beirut, Darul Fikri, 1994.

Andi Rusdiyanah, Problematika dan Kendala yang dihadapi Hukum Islam dalam Upaya
Transformasi kedalam Hukum Nasional, Makalah Seminar, 1996.

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.

Wahbah Az-Zuhaily, Ushul Fiqh Juz I, Darul Fikri, Beirut 1995,

::.gambar dari sini

0 komentar on "HUKUM ISLAM DI INDONESIA ; Eksistensi dan Prospek Transformasinya"

Posting Komentar

 

LPM BURSA Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez