Jumat, 03 April 2009

MENYELAMATKAN JIWA DAN RAGA DENGAN BERZAKAT

Diposting oleh admin di 06.46

Oleh: KH. MASHUDI, M.Ag.

Ancang-ancang
Tulisan sederhana ini mencoba mengupas peran zakat di dalam menyelamatkan jiwa dan raga. Judul tulisan di atas dilatarbelakangi oleh pengalaman empiris bahwa akhir-akhir ini begitu banyak susunan nama-nama penyakit (mulai dari yang ringan, sedang, berat, sangat berat bahkan kronis), banyaknya orang kaya yang begitu mudahnya jatuh miskin (baik miskin kategori ringan, miskin kategori sedang, miskin kategori berat, miskin kategori sangat berat bahkan miskin yang berkategori kronis). Kondisi ini sebenarnya dapat dijadikan “laboratorium” yang menarik untuk diteliti dan dikaji guna diketahui faktor penyebabnya, diagnosa penyakitnya, serta terapi yang “manjur”.

Sebagai fakta kehidupan, kita harus berikhtiar semaksimal mungkin agar terhempas dan terbebas dari keadaan yang mengerikan itu. Berkaitan dengan hal tersebut, paling tidak ada pertanyaan epistimologis yang harus dijawab. Bagaimanakah format dan model zakat di dalam menyelamatkan jiwa dan raga, lalu pada tataran apakah terselamatkannya jiwa dan raga oleh zakat. Berkaitan dengan itulah, tulisan ini lebih berkonsentrasi pada persoalan zakat yang didekati secara socio-religius.
Penulis mengajak para pembaca untuk mencermati, melacak, menebak dan merasakan di mana letak substansi zakat sebagai “juru penyelamat” jiwa dan raga dalam kehidupan ini, lalu mari kita bersama-sama “mbudi doyo” menerapkankannya.

Merasionalkan Zakat sebagai Obat
Hadits di atas merupakan inspirator bagi kita umat Islam untuk senantiasa menyelamatkan jiwa dan raga dalam mengarungi kehidupan ini. Memang, upaya menyelamatkan jiwa dan raga beraneka ragam cara. Namun, dalam perspektif agama, bagi si kaya, zakat dipandang salah satu cara yang paling strategis dan efektif untuk menyelamatkan jiwa dan raga kendatipun terasa berat, apalagi setelah melihat nominal yang harus dikeluarkan cukup besar. Sebab secara psikologis, orang merasa “eman” terhadap harta milik yang diperolehnya dengan penuh susah payah. Itulah barangkali faktor utama yang selalu hinggap pada sebagian orang sehingga enggan mengeluarkan zakat.

Hakikatnya, perasaan “eman” yang senantiasa menghantui benak pikiran para hartawan, tak lain adalah salah satu bentuk nafsu yang ditunggangi oleh bisikan syaitan terkutuk. Senyampang kita berikhtiar meningkatkan kualitas iman yang bersemi di dada, sepatutnya kita juga selalu mewaspadai sekaligus “mencurigai” bisikan syaitan. Hanya iman yang kokoh dan progresif jualah yang berdaya melawan nafsu dan bisikan syaitan tersebut. Seorang pujangga pernah mengingatkan kita dengan sebuah redaksi :

“sesungguhnya bila aqidah tidak mampu memberikan dampak (positif) dalam corak berfikir manusia, peningkatan ibadahnya maka tidak ada arti baginya”.



Menipisnya sikap percaya diri (self-esteem) dan menguatnya pola hidup individualisme adalah sebuah kenyataan yang melanda masyarakat di zaman yang sudah tua seperti sekarang ini. Penyakit musiman (al-asqam al-zamaniah) yang bersandar pada para hartawan antara lain malas mengeluarkan zakat, mengeluarkan zakat dengan cara setengah hati, atau mengeluarkan zakat tapi tidak sesuai dengan prosedur syariat.
Terkait dengan refleksi diatas, dalam banyak hal manusia cenderung dan bahkan berpotensi untuk melakukan perbuatan negatif. Paling tidak, ada tujuh kecenderungan yang senantiasa menghiasi setiap manusia, yakni :

1. Jealous, kecemburuan, iri dan dengki. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT : “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah Telah berikan kepadanya? Sesungguhnya kami Telah memberikan Kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan kami Telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (QS. Al-Nisa/4 : 54)

2. Sinful, kecenderungan manusia untuk mengulang-ulang dosa. Kecenderungan ini juga sejalan dengan Firman Allah SWT : “Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami. (QS. Yunus/10 : 92)

3. Congkak. Allah berfirman bahwa : “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.( QS. Al Hadiid/57 : 23).

4. Bangga terhadap kelompoknya, sebagaimana firman Allah : “Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”( Q.S. Ar Ruum/30:32).

5. Pelit, Allah telah berfirman : “(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”( QS. Al Hadiid/57 : 24).

6. Unstatisfactory, sering lupa bersyukur, bahkan sangat sedikit berterima kasih pada penciptanya. “Sesungguhnya kami Telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. amat sedikitlah kamu bersyukur.” ( QS. Al A'raaf/7 : 10).

7. Materialis, cinta dunia yang berlebih-lebihan. Sikap ini sejalan dengan firman Allah : “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”. (QS. Al Fajr/9 : 20).

Semua penyakit di atas, sesungguhnya sudah diberikan terapi oleh Allah SWT dalam al-Qur'an, diantaranya adalah dengan menunaikan zakat. Jika dibiarkan, penyakit-penyakit diatas akan membahayakan diri sendiri dan juga orang lain. Secara sharih dan substantive al-Qur'an mengingat bahwa deretan penyakit tersebut mempunyai daya hancur yang luar biasa. Bukan hanya badan atau raga yang akan hancur, tetapi jiwa, tatanan masyarakat, pola relasi, keharmonisan, shymponi kehidupan yang merdu bahkan mozaik kehidupan yang menawan juga luluh lantah.

Menjadikan zakat sebagai shock-teraphy, solusi ataupun obat bagi berbagai penyakit di atas tidaklah berlebihan apalagi tak berdasar. Hal ini karena zakat menyimpan banyak hikmah (asrar) yang dapat menyentuh berbagai aspek kehidupan. Jika dirumuskan secara akademik, maka beberapa hikmah berzakat antara lain : Pertama, memelihara harta orang-orang kaya dari gangguan pihak lain sebagai akibat dari adanya kesenjangan social (social-gap). Kedua, memberikan “syafa'at” kepada mereka yang menjadi obyek zakat, seperti : fakir, miskin, muallaf, gharim, ibnu sabil, fisabilillah dan amil. Mereka semua tercatat sebagai deretan orang-orang yang membutuhkan, sehingga kecemburuan sosial semaksimal mungkin dapat diminimalisir, dengan demikian maka kestabilan dan ketenteraman masyarakat serta negara terjamin. Ketiga, membersihkan diri dari sifat kikir dan pelit, sehingga si kaya menyadari sepenuhnya bahwa zakat bukan hanya semata-mata kewajiban, melainkan bukti wujudnya rasa solidaritas sosial (al-takaful al-ijtima'i). Keempat, mensterilkan harta yang diperoleh yang dimungkinkan terjadi kealpaan dan kekhilafan serta bercampur dengan hal-hal yang syubhat (belum jelas halal-haramnya). Kelima, mengekspresikan sikap syukur atas nikmat yang dianugerahkan oleh Allah SWT. Keenam, membangun pondasi ekonomi dluafa melalui pemberdayaan zakat menuju kesejahteraan lahir dan batin.

Adapun secara psikologis, zakat mengandung hikmah berupa diperolehnya kesucian jiwa dan harta dari sifat kebakhilan, sifat kerakusan, sifat pendengki, sifat permusuhan dan sifat kezaliman. Sedangkan secara sosiologis, akan terjalin persaudaraan, dapat mengentaskan kemiskinan, dapat mempersempit kesenjangan sosial (social-gap) dan dapat pula mewujudkan keamanan serta ketentraman hidup bagi dlu'afa. Selain itu, zakat juga memiliki manfaat secara ekonomis, yaitu mendorong investasi dan produktivitas, mendistribusikan kembali sebagian harta yang diperolehnya secara adil, membuka lapangan kerja dan terbentuknya jaringan sosial.

Selain beberapa perspektif di atas, zakat juga memiliki titik singung dengan sosio-religius. Kita sadar bahwa munculnya berbagai masalah dan maraknya musibah yang menimpa bangsa dan agama kita yang cukup memprihatinkan ini, antara lain lebih disebabkan oleh perubahan nilai spiritualitas di kalangan umat Islam sendiri, menurunnya nilai kejujuran, merosotnya kepedulian sosial serta masih melilitnya ego sektoral di antara kita sehingga belum mampu bersikap dewasa menyikapi kehidupan ini. Dengan itu pula solidaritas sosial (al-takaful al-ijtima'i) secara umum cenderung melemah dan tumpul untuk merespon kebutuhan masyarakatnya.

Perasaan prihatin terhadap sesama manusia khususnya kaum yang lemah (mustadl'afiin) dengan menunaikan zakat akan berdampak pada kepedulian sosial dan perasaan senasib sepenanggungan sehingga terdorong untuk membantu memecahkan berbagai problem kehidupan. Nabi Muhammad SAW memberikan pesan penting dalam salah satu sabdanya : “Umatku akan menjadi baik dengan dukungan ilmu dan harta”. Lebih lanjut, beliau juga menginstruksikan kepada para sahabat yang tentunya juga diperuntukkan bagi seluruh kaum muslimin, dengan sebuah sabdanya : “Sesungguhnya kamu sekalian diberi pertolongan dan kesejahteraan oleh Allah berkat orang-orang lemah diantara kamu sekalian”.

Dalam kerangka merespon instruksi tersebut, Khalifah Abu Bakar RA, pada pidato kenegaraan kali pertama, menyampaikan statement :

“Orang yang lemah dalam pandangan kamu, menjadi kuat di sisiku hingga aku kembalikan haknya, Insya Allah. Dan orang yang kuat pada pandangan kamu, lemah di sisiku, hingga aku ambil dari padanya hak-hak orang lain”.

Salah satu bentuk nyata kepedulian kita terhadap kaum mustadl'afin adalah dengan mengeluarkan zakat (mal maupun fitrah). Hal itu sebagaimana ditegaskan Allah SWT :

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (QS. Al-Hasyr/59:7)

Rasulullah SAW menegaskan :

“…..Harta (hasil zakat) itu diambil dari orang-orang kaya diantara mereka (umat Islam) dan diberikan kepada fakir diantara mereka pula…..”

Zakat memang memiliki makna ganda, yakni dari sisi spiritualitas harta dizakati akan selalu berkembang dan dari sisi ekonomis-psikologis, akan membentuk ketenangan batin pada diri muzakki disamping akan mengantarkannya berkonsentrasi dalam pemikiran dan usaha pengembangan harta. Hanya saja dalam prakteknya amanat zakat yang dikumpulkan dari para muzakki akan lebih konstan dan simultan manfaatnya apabila disamping ada yang bersifat konsumtif juga produktif, semisal modal usaha. Dengan demikian sangat dimungkinkan terjadinya perubahan drastis yang semula menempati posisi muzakki/pemberi zakat (akan tetap dalam posisinya) dan orang yang sebelumnya berposisi sebagai mustahiq/penerima zakat (akan bergeser di masa yang akan datang menjadi seorang muzakki).

Merujuk dari efektifitas pemberdayaan Zakat tersebut, cukup menjadi saksi bahwa beramal shaleh menjadi salah satu faktor penyebab pendakian spiritual sesorang. Marilah sejenak kita perhatikan do'a Nabi Sulaiman AS ketika mendapat sindiran dari seekor semut yang menghalau anak buahnya, takut terinjak, sementara yang menginjak tidak merasa berbuat salah :

“Ya Tuhan, berilah kami kemampuan untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepada kami dan kedua orang tua kami, dan untuk berbuat atau mengamalkan sesuatu yang shaleh yang Engkau ridlai, dan masukkanlah kami atas rahmat-Mu, ke dalam hamba-hamba-Mu yang shaleh” (QS. Al-Naml : 19).

Keniscayaan Penataan Sistem
Sebagai salah satu rukun Islam yang bermatra ganda, zakat hukumnya fardlu 'ain (kewajiban individual) dan bersifat ta'abbudi (bernilai ibadah). Dalam Al-Qur'an, perintah zakat sama pentingnya dengan perintah shalat. Namun demikian, kenyataannya rukun Islam yang ketiga itu belum berjalan sesuai dengan harapan. Pengelolaan zakat oleh lembaga dan masyarakat masih memerlukan bimbingan dari segi syari'ah dan tuntutan perkembangan zaman. Pendekatan kepada masyarakat Islam masih memerlukan tuntutan serta metode yang tepat dan mantap, agar outputnya juga tepat guna, tepat sasaran dan membanggakan.

Orang yang membayar zakat (muzakki) misalnya, masih melaksanakan kewajibannya secara terpencar. Pembagian zakat pun masih jauh dari memuaskan. Hal ini perlu segera penataan dengan cara melembagakan zakat itu sendiri. Penataan ini tidak hanya terbatas pada pembentukan Badan Amil Zakat saja. Lebih dari itu, penataan hendaknya juga menyangkut aspek manajemen modern yang dapat diandalkan, agar zakat menjadi kekuatan yang bermakna.

Penataan itu menyangkut aspek-aspek pendataan, pengumpulan, penyimpanan, pembagian dan yang menyangkut sumberdaya insaninya. Lebih dari itu, aspek yang berkaitan dengan syari'ah (hukum Islam) tak bisa dilupakan. Ini artinya diperlukan organisasi yang kuat dan rapih.

Bagi umat Islam, syari'at zakat meskipun keberadaannya sebagai ibadah sosial yang formal, terikat oleh syarat dan rukun tertentu namun memiliki manfaat ganda sekaligus, yakni : dimensi ibadah mahdhah (murni) dan dimensi ibadah ijtima'iyah (sosial), sehingga perlu dikelola secara profesional. Penanganan dan pengelolaan zakat secara profesional memerlukan tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur dan amanah.

Berangkat gambaran manfaat yang dikandung sebagaimana tersebut di atas, maka Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Badan Amil Zakat mengamanatkan agar pengelolaan zakat dilakukan secara intensif, penuh kebersamaan, menanggalkan aspek ego-sektoral para pihak, dan wujudnya kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat sehingga berdaya guna dan berhasil guna.

Seiring dengan pembaruan paradigma (tajdid al-fikr) fiqih zakat, maka hukumnya “fardlu 'ain” bagi kita buntuk melakukan pemberdayaan terhadap sistem managerial pengelolaannya. Paling tidak, beberapa upaya konkrit menuju wujudnya managemen pengelolaan zakat yang berdaya tersebut antara lain : a) Menjadi pengelola zakat yang amanah, transparan dan professional. b) Membantu meringankan persoalan umat dengan mengoptimalkan pemberdayaan zakat. c) Senantiasa bermitra dengan pemerintah, swasta dan lembaga swadaya masyarakat dalam pengentasan kemiskinan.

Penulis adalah:
Pembantu Dekan Fakultas Syari'ah INISNU Jepara,
Sekretaris Badan Pengawas BAZ Kab. Jepara

gambar dari sini

0 komentar on "MENYELAMATKAN JIWA DAN RAGA DENGAN BERZAKAT"

Posting Komentar

 

LPM BURSA Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez