Minggu, 12 April 2009

HATI YANG MENANAM

Diposting oleh admin di 08.05

Oleh : Hamim Salam


Kala Desember datang, kita diingatkan terjadinya tragedi kemanusiaan terbesar di negeri tercinta sepanjang abad ini. Bencana tsunami telah meluluhlantahkan "Serambi Mekah" dan Pulau Nias yang menelan ratusan ribu nyawa dengan sia-sia. Tsunami Aceh seolah mengawali serentetan musibah bencana alam yang melanda negeri ini.
Tidak berselang lama, terjadi gempa di Jogja dan Klaten, Tsunami Pangandaran, banjir di berbagai wilayah, angin Lisus dan Puting Beliung, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, intrusi dan sebagainya.

Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah penggalan lagu Ebiet G. Ade bahwa bumi telah bosan bershahabat dengan kita? Kalau memang bumi sudah tak lagi mau bershahabat dengan kita, maka bersiap-siaplah kita untuk tidak nyaman, was-was, terancam "terusir" serta terhengkang dari muka bumi ini.

Dalam disiplin Geografi, alam ini (bumi pada khususnya dan tata surya matahari pada umumnya) selalu mengalami perubahan, baik secara frontal (revolusi) maupun perlahan-lahan (evolusi). Sedangkan dalam perspektif ilmu Logika, berdiri dan tenangnya sesuatu benda terjadi karena adanya keseimbangan. Artinya, jika bumi tidak tenang lagi dan mulai goyah maka itu berarti telah terjadi ketidakseimbangan.
Bagian-bagian bumi ini merupakan kesatuan yang saling berkait, sehingga membentuk sebuah ekosistem. Ekosistem ini terdiri dari biotik dan abiotik, di mana sumber kehidupan utamanya adalah CO2 (oksigen) dan H2O (air). Ketidakseimbangan sirkulasi dan peran dari zat-zat tersebut mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem. Akibatnya regulasi ekosistem terganggu sehingga mengakibatkan terjadinya ketidakteraturan alam ini.

Ke(peng)rusakan lingkungan, ke(peng)gundulan hutan, penggunaan zat karbon berlebihan, peningkatan polusi kendaraan dan pabrik, serta reklamasi pantai adalah di antara penyebab ketidakseimbangan alam yang mengakibatkan perubahan alam (iklim). Ahirnya, bencana alam senantiasa hadir sebagai "pelengkap" ulah brutal manusia.
Pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi) merupakan penyumbang terbesar emisi gas bumi yang berpotensi "memanaskan". Kemudahan hidup akibat pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata harus dibayar mahal. Bumi semakin panas, ancaman hidup semakin ganas.

Bumi tempat kehidupan ini selayaknya kita sadari sebagai titipan anak cucu kita. Apa yang kita terima hari ini adalah hasil dari perbuatan kemarin. Begitu juga apa yang kita perbuat hari ini adalah penyebab kejadian di hari esok, di mana anak cucu kita akan hidup. Bagaimanapun berpikir demi kebaikan masa depan akan jauh lebih baik dan bijak, lebih-lebih jika kebaikan itu terkait kepentingan banyak orang. Dengan tidak bermaksud sok melankolis, rasanya perlu kita nyatakan bahwa pelestarian alam raya sama artinya dengan pelestarian setiap nyawa.

Atas hal ini, dengan dalih kesejahteraan manusia sekalipun, pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti kesadaran pentingnya menjaga keseimbangan da pelestarian alam. Di sini kita senantiasa dituntut untuk selalu "berwawasan lingkungan"
Akan tetapi di sisi lain, berbagai bentuk penyimpangan selalu mewarnai dalam upaya konversasi lingkungan yang dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga masyarakat, ataupun masyarakat perorangan. Pembalakan liar (Illegal loging) dan eksploitasi tambang adalah contoh yang sering kita dapati di negeri "paru-paru dunia" ini. Ironisnya, penyimpangan yang terjadi justru dilakukan oleh oknum "pengurus" bangsa yang selayaknya menjadi teladan.

Alhasil, menjaga dan melestarikan alam bisa diawali dari diri sendiri dengan menjaga lingkungan terdekat sekitar kita. Hari ini, bukan terlambat jika kita menanam "kesadaran menanam" dalam lubuk kalbu yang terdalam. Biarkanlah hati ini menanam. Subhanallah.

::.gambar dari sini

1 komentar on "HATI YANG MENANAM"

saif on Senin, 13 April 2009 pukul 08.04.00 PDT mengatakan...

salam Kang, lama tidak ketemu

Posting Komentar

 

LPM BURSA Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez