Jumat, 03 April 2009

Sayap-sayap Senja

Diposting oleh admin di 07.59


Oleh: Isnaini Nur Hidayati

Disuatu senja engkau pernah berkata ; “Aku tidak sanggup hidup tanpa berhayal dan bermimpi. Keduanya selalu mengisi hidupku yang membuat aku tidak bisa keluar rumah. Aku hanya mendengarkan alam dan melihat gambarnya, membaca tulisan orang tentangnya, duduk-duduk sendiri kemudian berkhayal, tidur dan bermimpi...”

Aku akan membayangkan semua yang tidak dapat kuraih, yang tidak dapat kudengar, kurasa dengan lidahku. Allah telah menciptakan manusia dengan bentuknya dan itu adalah gambaran Allah. Allah menciptakan segala sesuatu dan manusia adalah orang lain yang bisa mencipta dan berkarya. Setiap orang adalah Tuhan bagi mimpi dan khayalannya!

Mengiring senja yang meredup, engkau melanjutkan ceritamu ; ”Aku selalu berkhayal pada waktu-waktu tertentu untuk sesuatu yang ia mau. Aku adalah dari keluarga yang tinggal di desa. Antara satu kota dengan yang lain ada pintu yang selalu mengintai, bapakku yang sudah tua dan ibu ynag sakit-sakitan, kebodohanku tentang kehidupan, rasa minder dan takutku pada semua orang...”

Senja ini melukis banyak cerita, engkau menatapnya dengan nanar. Kadang geram, sesaat kemudian simpul senyummu muncul meskipun engkau menyembunyikannya, sesaat kemudian engkau menerawang melawan mimpi. Yah, mimpi yang selama ini selalu menopang eksistensimu. Ah..., aku melihatmu seperti pujangga yang bersemedi dibawah pohon bakau. Merajut akar yang kaku dan kasar, tapi unik dan jujur.

Senja terlihat enggan meninggalkanmu, sempat saat itu engkau bersabda seperti nabi ; ”Meskipun bintang tidak mau terbang di udara namun burung dapat terbang tinggi di udara dan bergantungan di langit. Itu karena mereka memiliki sayap yang panjang. Semakin panjang semakin mudah baginya untuk terbang tinggi di udara. Harusnya manusia juga seperti burung yang mempunyai sayap, sayap yang panjang. Sayap tersebut adalah khayalan dan saat ini aku hidup di dalamnya, di dalam sayap yamg panjang, berwarna-warni dan membawaku terbang tinggi ke angkasa, kelangit, air dan udara!”
Sampai disini aku tak dapat membacamu, engkau meracau membuncahkan kata-kata yang tak kumengerti. Aku berusaha memahamimu, tapi engkau terlalu menepi disudut misteri. Engkau terlalu menepi, sehingga sudut hatimu yang seharusnya dapat menyeimbang jiwamu, malah seolah menjadi beban.

Entah, tiba-tiba saja engkau meracau lagi seperti beo yang baru mendapat kosakata baru dari pemiliknya ; ”Adapun laki-laki, sayapnya pendek dan lebih realistis. Wanita bersama laki-laki seolah-olah sedang membawa anak kecil. Ia capek bersamanya. Begitu juga laki-laki, dia ingin terbnag tinggi ke langit. Namun laki-laki melekatkannya di bumi, berjalan di atas telapak kakinya, di atas lumpur dan tanah, padang pasir dan rerumputan. Akan tetapi ia hidup di dalam mimpinya, di dalam angannya, di sana ia datang mencium dan memeluknya sambil berkata: ”Aku Cinta Padamu ”.

Ah, sajak-sajakmu sudah mulai membosankan. Senja sudah penat menunggumu. Ia pergi dengan tergesa, mungkin karena ceritamu yang tak lagi sakral seperti kemarin. Sekarang malam telah menyapamu, tapi engkau seolah tak mengenalnya. Engkau tetap tak bergeming dari tempatmu. Tapi aku mulai tertarik mendengar kisahmu selanjutnya. Malam membantumu bercerita, sepoi angin yang menabuh daun kirey, terasa sendu mengiris kalbu. Engkau menarik nafas panjang seolah menabung kata-kata dalam kerongkongan untuk kemudian engkau buncahkan dalam bentuk kisah yang ranum.

Engkau melukis kisah diatas selembar kanvas yang sudah lusuh, tapi aku percaya dengan pilihanmu. Engkau mampu membaca malam ; ”Semuanya berawal dari telepon. Ia tidak tahu bentuk dan rupanya, begitu pula sebaliknya. Pada saat ia mendengar suaranya, telingganya ia lekatkan dengan rapat digagang telepon, berjalan sambil berbincang-bincang lewat telepon, setia mendengarkannya, berhari-hari bahkan berbulan-bulan, namun tanpa melihat satu sama lain... Dengan setia ia mendengarkannya tertawa, menangis, tidur dan bermimpi, seolah nafasnya sangat dekat dengannya yang dipindahkan lewat gagang telepon. Yang laki-laki berada di suatu tempat yang tidak diketahuinya dan begitu juga sebaliknya...”.

Tiba-tiba engkau menghentikan ceritamu, bibirmu terkatup seolah menahan geram yang selama ini terpendam. Engkau melukis kembali ceritamu ; ”Yang ia tahu hanya satu yang selalu berulang setiap malam, yaitu dentingan suara telepon. Ia angkat gagangnya tanpa berkata ”hallo” karena ia sudah tahu siapa yang ada di seberang sana, lalu meletakkan gagangnya di sebelah telinganya sampai pagi, menanyakan apa yang ia kerjakn apa yang dilakuakn sepanjang hari dan ia pun bercerita. Bagaimana ia keluar rumah berjalan menuju jalan trotoar yang disana berjajar kafe-kafe tenda, disalahsatu kafe kecil dengan segelas kopi digenggaman, ia menikmati perempuan yang lewat di depannya yang meninggalkan aroma wangi, betisnya yang mulus dan dadanya yang membusung, lehernya yang jenjang. Lalu ketika setiap kali ia melihat wanita cantik, dari mulutnya keluar kata-kata ”ah...” yang diiringi kepulan asap rokok. Ia juga bercerita tentang wanita tua yang terpeleset dan jatuh menimpanya hingga menumpahkan kopi di bajunya. Kemudian wanita itu berlalu dengan meminta maaf kepadanya.

Sampai disini engkau bergumam geram yang tak tertahankan meniru rangkaian kata seolah engkau mewakili seseorang dengan merendahkannya ; ”Kalau saja wanita itu muda dan cantik akan kuulurkan tanganku kepadanya dan kukatakan: tanganmu sangat halus. Kamu punya baju yang sangat bagus, atau mungkin seorang calon pengantin yang cantik, atau kamu akan beruntung hari ini atau minggu ini...”.

Malam kembali membantumu bercerita, senyapnya mengundang khusyuk bagi para pendongeng ; ”Setiap burung harus pulang kekandangnya. Tidak ada burung yang terbang selamanya di udara, makan, minum, tidur, beranak dan yang lainnya di udara tanpa mengenal bumi sam sekali. Engkau juga harus kembali ke bumi untuk beristirahat sejenak dan kemudian kembali terbang. Kembalilah ke bumi, tinggalkanlah sayap itu sejenak. Bila engkau terbentur kenyataan, pergilah ke dunia khayal. Bila kenyataan menarikmu, maka tinggalkanlah khayalan!”.

Mendengar penuturanmu seperti melangkah diantara dua alam. Entah karena nalar tumpulku yang tak mampu mencerna, atau memang ceritamu yang benar-benar kacau. Aku semakin tak mengerti ketika mendengar ceritamu tadi, tapi aku berharap kisah selanjut dapat aku pahami. ”Seperti kisah seorang laki-laki Yunani yang dikutuk Tuhannya untuk ditempatkan di suatu telaga. Ia tenggelam hingga sebatas lehernya. Setiap ia ingin minum untuk menghilangkan dahaga, air pun surut. Begitu seterusnya hingga tinggallah ia kehausan sedangkan air ada di sekitarnya. Setiap ia berusaha untuk minum, air lari darinya dan di saat kembali berdiri, air pun kembali menenggelamkannya. Inilah suatu siksaan”.

Aku tercengang ketika tiba-tiba engkau merampas dengan kasar sisiran daun kirey yang masih ditangkainya. Engkau meremasnya hingga tulang-tulang daun itu patah tak beraturan. Seolah engkau bertanya kepada malam yang engkau persalahkan karena sebelumnya selalu membawa kabar manis tentang cinta ; ”Terhormat? Adakah cinta meninggalkan kehormatan bagi seseorang?”

Malam terkesan acuh mendengar hardikanmu ; ”Sesungguhnya cinta membenci kehormatan karena cinta seperti anak kecil. Kyuibid, salah seorang dewa cinta adalah seorang anak kecil yang selalu bermain dan bersuka-ria dan selamanya tidak akan pernah dewasa. Ia hidup bersama orang-orang yang selalu menari dan berdansa, bernyanyi dan tidurnya tiada lain adalah hatimu dan hatiku. Apakah kamu tahu prinsip cinta?”

Tiba-tiba engkau tertawa tanpa aku tahu sebabnya. Aku hanya membaca bahwa bebanmu sudah diambang batas. Kegilaanmu pada sunyi yang selalu menyelimutimu, malam yang mengutukmu, senja yang meninggalkanmu, membuatmu lebih berani. Yah, berani untuk bercumbu dengan kenyataan. Engkau berbisik didekat telingaku berharap kata-katamu merasuk ke dalam hatiku ; ”Kamu harus selalu memulai. Mulailah dari perkataan, ulurkan tanganmu pada wanita dan terimalah ia di pertengahan jalan, lalu berikanlah padanya pundakmu dan hatimu, karena cinta harus selalu memulai. Yah, memulai untuk kemudian merampas hati”.

gambar dari sini

0 komentar on "Sayap-sayap Senja"

Posting Komentar

 

LPM BURSA Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez