Jumat, 03 April 2009

Zakat dan Misi Kemanusiaan

Diposting oleh admin di 08.34

Oleh: DEDY MERISA


Dalam hierarki rukun Islam, zakat menempati posisi ketiga setelah Shalat. Hal ini menunjukkan bahwa zakat memiliki kedudukan yang amat penting dalam Agama Islam. Al Quran juga memberikan banyak penjelasan tentang zakat, tidak kurang dari 34 ayat dalam Al Qur'an yang menerangkan tentang zakat. Sebagai salah satu ritual dalam Islam, zakat menyimpan beberapa dimensi yang sangat kompleks. Jika puasa merupakan upaya penyucian diri, maka zakat lebih berorientasi untuk mensucikan harta dan rasa solidaritas kemanusiaan. Sebab, pada hakikatnya sebagian harta yang dimiliki merupakan hak bagi orang lain yang masuk dalam kategori mustahiq zakat. Dengan demikian, paling tidak zakat memiliki dua dimensi, yaitu dimensi transenden yang berarti ibadah mahdloh (hablum minallah) dan dimensi sosial sebagai upaya peningkatan kesejahteraan umat (hablum minannas).

Dalam perspektif sosial-ekonomi, zakat mempunyai potensi yang luar biasa dalam pengentasan kemiskinan. Dalam konteks Negara Indonesia misalnya, dengan jumlah penduduk yang mayoritas muslim, maka zakat dapat menjadi solusi bagi pemecahan masalah kemiskinan. Dengan jumlah penduduk muslim sekitar 90% dari seluruh penduduk Indonesia, maka setidaknya dapat sedikit mengurangi atau minimal menekan eskalasi kemiskinan.

Dari berbagai analisa para ekonom, disebutkan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Maka, salah satu solusi membebaskan diri dari cengkeraman kemiskinan adalah dengan pengelolaan zakat yang tepat, lebih modern dan berdaya guna. Sejarah telah mencatat bahwa fenomena fakir-miskin sudah menjadi bagian problem kemanusiaan yang akan tetap eksis sepanjang perjalanan kehidupan manusia. Untuk itulah, zakat sebagai piranti pengentas kemiskinan dengan berbagai modifikasi yang sejalan dengan perkembangan zaman, tampaknya merupakan jawaban yang cukup tepat.

Menurut H. M. Dawam Raharjo, peranan zakat dalam meningkatkan kesejahteraan umat terkhusus di Indonesia sangat besar sekali pengaruhnya, misalnya membangun masjid, sekolah, rumah sakit, pesantren, dan lain sebagainya. Semua itu bisa melalui penyaluran harta zakat. Oleh sebab itu, kedudukan zakat bisa dikategorikan sebagai salah satu sumber potensi umat.

Berawal dari pemikiran tersebut maka perlu adanya (meminjam istilah dari Sudirman, MA) “rekonstruksi konsep zakat” yang lebih relevan dengan tuntunan perkembangan zaman. Rekonstruksi konsep zakat di sini diartikan sebagai upaya pemaknaan ulang zakat dalam hal-hal yang bersifat praktis, bukan dalam ranah konsep dasar zakat. Rekonstruksi di sini tidak dimasudkan untuk merubah hukum zakat dari wajib menjadi sunnah, namun lebih pada wilayah ijtihadi zakat yang bisa dikembangkan sesuai dengan irama perjalanan zaman. Dengan pengelolaan yang baik, zakat menjadi sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.

Dalam kondisi apa pun sejak diperintahkan hingga kini, zakat hukumnya tetap wajib, hanya yang perlu direnungi ulang adalah barang apa saja yang harus dizakati. Selama ini, zakat hanya diasumsikan kepada zakat fitrah dan lima jenis zakat yang sudah umum dibincangkan dalam kitab-kitab fiqh klasik. Kelima sumber zakat itu adalah zakat emas, perak, pertanian, peternakan, perdagangan, dan barang temuan. Padahal saat ini banyak sumber-sumber penghasilan yang justru lebih besar dari pada kelima jenis tersebut.

Yusuf Qardawi, ulama kontemporer, menambahkan materi zakat yang wajib dizakati selain kelima materi zakat tersebut di atas, yaitu antara lain, zakat investasi pabrik, jasa, profesi, saham, dan obligasi. Pengembangan konsep dan meteri zakat, menurut Qardawi disebabkan adanya kompleksitas sistem perekomian dan kemampuan manusia menguasai kekayaan alam. Sehingga, umat Islam pada zaman modern saat ini untuk memperoleh penghasilan yang memiliki nilai ekonomis menjadi sangat banyak.
Hal lain yang juga memerlukan perhatian adalah redefinisi muzakki dan mustahiq zakat. Sasaran pembagian zakat secara konvensional tegasnya yang telah disepakati ulama, baik klasik maupun modern, terdiri dari delapan golongan. Hal ini mengacu pada ayat al-Qur'an surat at-Taubah: 60 yang menyebutkan ada delapan kategori, mereka itu adalah: fakir, miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang yang berhutang, orang yang berjuang dijalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan.

Pada zaman klasik, seseorang akan dianggap kaya apabila ia memiliki emas, dan perak, memiliki kebun buah-buahan dan hasil pertanian yang banyak, binatang ternak dan atau harta perdagangan yang sangat melimpah. Namun, sejak dikembangkan bank dan pasar modal sebagai lembaga ekonomi, diterapkan sains dan teknologi dalam kegiatan budidaya, dipakainya keahlian dan ketrampilan diri sebagai komuditas, orang sekarang menjadi kaya bukan saja karena menyimpan emas dan perak atau memiliki binatang ternak, tetapi lebih karena memiliki deposito yang banyak pada bank, memiliki saham di beberapa perusahaan besar.
Berbeda dengan pengertian orang miskin (diantara 8 golongan yang berhak mendapat zakat) pada masa dulu, kemiskinan saat ini bukan saja ditentukan oleh kepemilikan kekayaan secara individual, tetapi tergantung juga dari tingkat kehidupan ekonomi suatu bangsa dan kualitas diri manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, definisi kemiskinan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya akan berbeda. Di Brunai, orang dianggap miskin dan berhak menerima zakat bila ia berpenghasilan sekitar $ 1. 180 atau sekitar Rp. 6.700.000, padahal untuk ukuran Indonesia penghasilan sebesar itu adalah termasuk orang kaya. Sebab, di Indonesia orang dianggap cukup atau kaya bila ia berpenghasilan sekitar Rp. 1.000.000.

Dewasa ini pembagian dalam penyaluran zakat menjadi problem tersendiri tentang efektifitas dan manfaat dalam penyaluran zakat tersebut, seperti yang dilangsir H. M. Djamal Doa yang pernah menjabat sebagai anggota DPR RI Periode 1999-2004 Komisi V dan juga sebagai anggota panitia anggaran, ia mengatakan bahwasanya selama ini zakat dianggap sebagai suatu amal pribadi yang disalurkan secara intensif guna memenuhi kebutuhan konsumtif-karitatif. Tegasnya proses penyaluran zakat hanya sebatas difungsikan sebagai ajaran pembersih harta dan jiwa bagi kalangan orang muslim yang mempunyai taraf ekonomi mampu, sehingga penyalurannya sebatas pemenuhan kebutuhan konsumtif untuk kaum muslim yang kurang mampu. Pada kenyataannya penyaluran dengan sistem tersebut di atas, tidak bisa menjadi sebuah problem solving dalam peningkatan kesejahteraan umat ataupun mampu mengentaskan kemiskinan. Waalhu A'lam.


gambar dari sini

0 komentar on "Zakat dan Misi Kemanusiaan"

Posting Komentar

 

LPM BURSA Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez