Minggu, 12 April 2009

TASAWUF GLOBALISASI; Refleksi Gaya Hidup dalam Bingkai Postmodernitas Global

Diposting oleh admin di 07.35

Oleh: CHOLIS HAUQOLA *


"Konsumerisme". Barangkali itulah kata kunci untuk mendeskripsikan gaya hidup masyarakat kontemporer. Kemajuan teknologi dan informasi telah menggiring semua komponen masyarakat pada tatanan budaya serba instant, individualis, pragmatis, hedonis, dan berorientasi konsumtif. Eksistensi manusia juga seolah terbingkai dalam kaya dan miskin, borjuis dan proletar. Semua serba diukur dari sudut pandang fisik, kebendaan, kepemilikan maupun keberlebihan.. Performa fisik beserta kepemilikan benda yang melimpah tanpa banyak disadari menjelma sebagai standar paten kebahagiaan dan oleh karenanya perlu dicapai semua orang. Fantasi dan imajinasi adalah dunia paling elegan bagi makhluk individualis-hedonis yang teramat "syakau" akan kebebasan.

Sebagian kelompok menganggap kondisi ini sebagai hal positif karena mampu menggerakkan dan bahkan memajukan tingkat pertumbuhan ekonomi. Sementara sebagian kelompok menganggapnya sebagai kemunduran kualitas hidup manusia karena dianggap menjauhkan manusia dari kemanusiaannya sendiri. Sikap pro dan kontra kemudian muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari sikap diam tergerus arus budaya konsumtif hingga aksi penolakan yang radikal-fundamental, baik dalam ranah sosial-budaya hingga paham dan sikap keberagamaan. Ahirnya ketegangan menjadi bagian dari kehidupan manusia dewasa ini. Kaum Agamawan pun seolah terpaku pada sebuah persimpangan yang memilukan, menerima dengan larut tergerus atau menolak dengan melawan.

Mengapa ini terjadi? Mengapa konsumerisme menjadi sikap dominan dalam masyarakat sekarang? Jika globalisasi ditunjuk sebagai biang konsumerisme, seperti apa modus operandi yang dijalankan? Bagaimana agama (Islam) mensikapi hal ini? Solusi apa yang bisa dirumuskan? Mungkinkah konsumerisme ditekan dengan memunculkan fundamentalisme anti global? Ataukah konsumerisme dibiarkan berkembang karena memang merupakan hak setiap orang dalam menjalani hidup? Nah, dalam kerangka perdebatan inilah tulisan ini barangkali menjadi penting untuk dimunculkan dan didiskusikan.


Sejarah konsumerisme.

Globalisasi merupakan akibat dari perubahan tatanan sistim ekonomi dan politik dunia pasca perang dunia ke dua. Ijtihad ekonomi politik international (EPI) di Bretton Woods pada tahun 1944 merupakan titik awal munculnya babak baru tatanan kehidupan secara menyeluruh setelah sebelumnya pernah terjadi di Eropa pada era revolusi industri abad XVII. Munculnya Word Bank, IMF, UNO, GATT, dan WTO sebagai seperangkat sistem EPI, mendorong semua negara masuk dalam sebuah "aturan main kayu" yang tak mungkin dihindari. Akibatnya globalisasi masuk dalam ranah kehidupan setiap bangsa hingga dalam batas yang paling pribadi sekalipun, termasuk wilayah kehidupan beragama.

Watak globalisasi yang provan-materialistik ternyata secara massif bergerak menuju sekularisasi nilai-nilai agama. Konsumerisme adalah gambaran nyata dari adanya fragmentasi nilai-nilai dan kepercayaan agama ini. Melirik analisa Bryan Turner dalam "Citizenship and Capitalism", sejarah timbulnya budaya konsumerisme tidak terlepas dari rentetan modus operandi evolusi kapitalisme. Sejarah evolusi kapitalisme yang dimaksud dapat dijelaskan melalui tiga tahapan strategi berikut.

Tahap pertama, pada masa revolusi industri, kapitalisme awal menegakkan '"rasionalisasi sistim produksi'" dan "disiplin diri" pada buruh melalui pemaksaan hilangnya kesadaran asketisme agama. Pada tahap ini diupayakan bagaimana masyarakat kelas bawah memiliki kesadaran bahwa kesejahteraan hidup hanya bisa diperoleh melalui tingginnya kemampuan dan banyaknya waktu serta energi dalam bekerja. Dengan bekerja secara demikian orang lebih berpotensi mendapatkan apa yang ia inginkan (terlebih kebutuhan material), kemudian secara bersama-sama bergerak menuju evolusi kesadaran materialistik. Dunia kebendaan seolah menjadi tujuan akhir dari upaya yang ditempuh. Ahirnya kapitalisme-materialisme budaya dengan sendirinya menghantarkan masyarakat pada sekularisme. Di sinilah modernisasi dan westernisasi berjalan hingga ahir abad ke-19.

Tahap kedua, pada abad ke-20, terjadi perkembangan lanjutan kebudayaan dan organisasi kapitalisme, yakni "rasionalisasi distribusi dan konsumsi". Perkembangan sistim distribusi global didasarkan pada perkembangan teknis tertentu (seperti distribusi dan konsumsi video yang disusul microwafe, komputer/ internet, dan beragam bentuk elektronik) dan sebagai konsekuensi perkembangan sistim transportasi dan komunikasi global maka terciptalah suatu pasar massal untuk travel dan pariwisata. Dan tahap ketiga, pada awal abad ke-21, kapitalisme terus berkembang melalui "rasionalisasi konsumerisme dan konsumsi" melalui pinjaman keuangan, sistim kredit, pengembangan perbankan massal, persewaan, dan rencana-rencana lain untuk memperluas proyek konsumerisme melalui industri informasi-komunikasi. Gaya hidup kelas menengah yang menekankan pada banyaknya waktu luang, kegembiraan, dan hedonisme kini telah menjadi standar kemakmuran global. Hal inilah yang kemudian menjadi inspirasi gaya hidup semua masyarakat, -tidak pandang bangsa, suku, agama, dan tingkat ekonomi- untuk mengkonsumsi level fantasi yang glamour.

Singkatnya, telah terjadi globalisasi budaya massa yang membentuk dan mengkondisikan gaya hidup masyarakat dunia ketiga, masyarakat negara berkembang dan negara-negara pasca Soviet dalam sebuah bingkai besar, yakni konsumerisme.
Kaitannya dengan agama, diyakini bahwa perkembangan kapitalisme dan modernisasi kebudayaan telah menggerogoti keyakinan dan komitmen religius. Tidak ketinggalan dunia Islam juga menanggung dampaknya terbukti dengan timbulnya dua kutub ketegangan dalam kesadaran konsumerisme yang provan versus kesadaran religiusitas yang sakral. Ketegangan semacam inilah yang sebenarnya menjadi fokus tulisan 'padat' ini.


Postmodernisme sebagai tantangan.

Mengikuti F. Jameson, dalam "Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism", kita dapat mengasosiasikan kemunculan kebudayaan postmodernisme dengan perkembangan konsumerisme dan postindustrialisme. Jika Islam selama ini merespons modernisasi dengan membangun etika kerja keras dan disiplin diri yang asketik, maka Islam kontemporer merespons postmodernisme dengan politik komunitas global yang sifatnya fundamental dan melalui etika moral antikonsumerisme yang didasarkan pada doktrin-doktrin keIslaman klasik. Politik komunitas global ini dimanifestasikan melalui sistim kesepahaman yang dibangun dalam tingkatan lintas negara dengan upaya tertentu yang berbasis pada prinsip dan (bahkan) praktik fundamental Islam untuk meng-counter hegemoni Barat. Benturan kebudayaan (The Clash of Civilization) menjadi ciri utama dalam "perang" ini.

Secara epistemologis, postmodernisme mengancam akan mendekonstruksi seluruh penjelasan teologis tentang realitas menjadi sekedar cerita-cerita bohong dan cenderung mistis serta menciptakan keraguan (tasykik) pada tataran keaslian dan kepengarangan. Berbagai ancaman dekonstruksi ini berasal dari pluralisasi gaya hidup dan kehidupan yang mengalihkan perhatian dunia pemikiran ke realitas sehari-hari yang kongkret. Postmodernisme kebudayaan adalah persoalan penting yang bukan lagi sebatas tingkat pemikiran tetapi lebih pada tingkat konsumsi dan gaya hidup sehari-hari. Orang-orang menerima atau menolak suatu sistem kepercayaan bukan karena alasan rasional apakah sistem tersebut koheren atau tidak, melainkan karena kepercayaan tersebut relevan atau tidak dengan kebutuhan dan urusan-urusan keseharian. Singkatnya, komitmen keagamaan dalam masyarakat pada era postmodernisme global semakin problematis. Hal ini disebabkan karena kehidupan keseharian kini telah menjadi bagian dari sistem pertukaran komoditas global yang ternyata tidak lagi mudah dipengaruhi oleh para pemimpin politik, intelektual, bahkan pemimpin keagamaan sekalipun.

Penggerogotan iman keagamaan tidaklah disebabkan oleh argumentasi rasional, penelitian agama yang serba filosofis ataupun pemahaman terhadap sekularisme Barat, melainkan oleh Barbie Culture, Coca Cola, Pepsi, Mc. Donald's ataupun mobil Ford. Jika E. Gellner dalam "Postmodernism, Reason and Religion" dan A. Ahmed dalam "Postmodernism Islam" mengatakan bahwa persoalan penting yang dihadapi para pemimpin keagamaan dan intelektual adalah persoalan pertarungan pemikiran intelektual, maka pendapat semacam ini rasanya telah kehilangan relevansi. Produk Body Whitening dan rebonding ternyata lebih dekat dalam nalar kesadaran masyarakat kontemporer dibanding argumentasi intelektual apapun. Pada titik inilah, konsumerisme secara ekstrim menjelma dalam wujud "agama baru" masyarakat beragama.


Mimpi alternative.

Merefleksikan kondisi memprihatinkan sebagaimana terurai di atas, membayangkan menghentikan globalisasi untuk menghilangkan konsumerisme adalah suatu pilihan yang tidak tepat. Rasanya kita perlu mempertimbangkan apa yang disusun Stauth dan Zubaida dalam "Mass Culture, Popular Culture and Social Life in The Middle East" bahwa perkembangan konsumerisme massa global ini adalah akibat dari perluasan westwernisasi dan penetrasi simbolik yang merupakan percampuran problematik antara kebudayaan lokal dan universalisme massa. Artinya, dalam tahap inipun komunitas gerakan Islam anti global juga melakukan penetrasi simbolik meskipun dalam bentuk yang berbeda, semisal jilbab dan purdah.

Bagi sekelompok kurang mampu jilbab bisa digunakan sebagai simbol menghindari pelecehan seksual, sekaligus karena tidak adanya kemampuan untuk membeli fashion dan aksesori 'ala barat yang harganya sangat mahal. Namun dalam beberapa tahun terahir, berkembang pula bentuk kerudung dan busana muslimah yang dikonsumsi kalangan menengah atas yang ahirnya juga menjadi ikon budaya konsumerisme tersendiri. Di Indonesia, trend kerudung 'ala Saskia Adya Mekka adalah contoh pembicaraan ini. Inilah yang pernah disebut oleh M. Abaza dalam "The Changing Image of Woman Rural Egypt" sebagai "Borjuis Islam". Alhasil, mensikapi konsumerisme global dengan cara "perang simbol" ternyata malah menciptakan "konsumerisme-religius", suatu bentuk konsumsi gaya baru. Sulit dan sekaligus dilematis.

Begitulah konsmerisme yang kian menggurita dalam nalar masyarakat postmodernisme. Akan tetapi, barangkali masih ada alternatif lain sebagai pilihan sikap menghadapi postmodernitas dan konsumerisme global. Alternatif yang tersisa ini adalah "Tasawuf Globalisasi".

Dalam tulisan ini tasawuf globalisasi diandaikan sebagai suatu disiplin diri yang terkontrol dalam menjalani hidup pada era globalisasi, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar, dengan basis spiritual keagamaan yang kuat. Tasawuf globalisasi ini tidak hanya bekerja dalam ranah keyakinan dan pemikiran saja, tetapi lebih dari itu bergerak dalam ranah action. Oleh karenanya bertasawuf lebih memilki arti 'berkepribadian' dalam bingkai al-Ihsan secara vertikal dan horizontal sekaligus, dimanapun dan kapanpun. Tasawuf globalisasi bukan sekedar 'gaya hidup' tetapi lebih tepat sebagai 'cara hidup' kontemporer masyarakat beragama yang tengah digilas sindrom 'Hubbud Dunya'.

Dalam praktik selanjutnya, cara hidup semacam ini merupakan manifesto dari kesatuan trilogi "dzikir, pikir dan amal sholih" secara proporsional dan dalam arti sesungguhnya. Sebagai konsekuensinya tasawuf ini bergerak dan bergulir menuju terciptanya manusia yang berkecerdasan komprehensif (ulul albab), yaitu integritas kepribadian yang cerdas intelektual, emosional maupun spiritual. Dengan berpegang pada kesatuan trilogi tersebut manusia akan senantiasa berkesadaran transenden bahwa dirinya dan apapun yang hadir di hadapannya berasal dan bertujuan hanya atas Allah semata tanpa ke-'sia-sia'-an (refleksi QS. Ali Imran, ayat 190-191). Kebenaran ilahiyah menempati level kebenaran tertinggi meskipun postmodernisme mengupayakan dekonstruksi mendasar terhadapnya.

Budaya massa dan budaya popular (Mass Culture and Popular Culture) yang hedonis-pragmatis-glamour disikapi tasawuf dengan prinsip 'kesenangan imajiner yang sementara' (refleksi al-dunya mataa'ul ghuruur). Tetapi di sisi lain dunia kehidupan kontemporer dianggap sebagai ajang aktualisasi peran keberagamaan sebagai wakil Tuhan di bumi (kholifatullahi fil-ardli) untuk menciptakan kesejahteraan bersama dalam kehidupan yang nyata. Oleh karenanya, tasawuf globalisasi menempatkan asketisme dan sekularisme dalam posisi yang sejajar, seiring dan seimbang. Kurang-lebihnya, di sinilah "titik pisah" antara tasawuf globalisasi dengan fundamentalisme Islam yang menafikan aspek keduniawian.

Konsumerisme sebagai bagian dari sekularisme, tidak menjadi persoalan serius jika diimbangi orientasi asketisme religius. Dalam Islam, kepemilikan melimpah tidak dilarang selagi mampu menjadi sarana pendekatan kepada Allah SWT (taqarrub ilallah) dan pemicu kesejahteraan setiap makhluk (rahmatan lil'alamin). Individualisme yang ditawarkan konsumerisme global sudah semestinya diimbangi dengan sosialisme atas dasar kepedulian hidup bersama masyarakat dalam kemakmuran. Betapa, dengan spirit "dzikir, pikir dan amal sholih", tasawuf globalisasi memancarkan pesona gaya hidup dalam bingkai postmodernitas global dengan keramahan yang progresif. Insya Allah.

*Cholis Hauqola
Mahasiswa Fak.Syari'ah INISNU Jepara,
Aktivis PMII dan Direktur "Lingkar Kata" Jepara


::.gambar dari sini

0 komentar on "TASAWUF GLOBALISASI; Refleksi Gaya Hidup dalam Bingkai Postmodernitas Global"

Posting Komentar

 

LPM BURSA Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez